Dalam menyelesaikan masalah kenetegakerjaan di Indonesia, pemerintah,
pengusaha dan serikat pekerja di Indonesia bisa belajar dari Jepang. Di
Jepang, untuk menyelesaikan semua permasalahan ketenagakerjaan,
pemerintahnya menggunakan lembaga konsultan ketenagakerjaan Jepang yang
disebut Labor and Social Security Attorney atau dalam bahasa Jepangnya
Shakai Hoken Roumushi (Sharoushi).
“Kami sudah lama dengar lembaga Sharoushi ini. Fungsinya bagus dalam
menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Karena itu, kami bermaksud
mendirikan lembaga yang seperti ini di Indonesia,” kata Sekretaris
Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan
Jamsos), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Iskandar Maula,
dalam pertemuan dengan Presiden Sharoushi, Kenzo Onishi, di kantornya,
di Tokyo, Jepang, Rabu (30/10).
Iskandar mengatakan, salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintah
dan pengusaha Indonesia sampai saat ini adalah masalah ketenagakerjaan
terutama masalah hubungan industrial seperti penentuan upah dan jaminan
sosial. “Namun, dalam masalah jaminan sosial tak lama lagi Indonesia
mempunyai lembaga yang bagus yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kenetegakerjaan dan Kesehatan,” kata dia.
Senada, Minister Counsellor di Kedutaan Besar Indonesia untuk Jepang,
Idhi Maryono, mengatakan, yang paling utama yang perlu dipejari dari
Sharoushi ini aspek perlindungan untuk tenaga kerjanya, luar biasa.
“Orang cacat di Jepang diberi pekerjaan terutama karena keberadaan
lembaga ini. Oleh karena itu, sangat bagus kalau ada lembaga seperti ini
di Indonesia,” kata dia.
Sementara Kenzo dalam sambutannya mengatakan, pihaknya menyambut baik
niat dan rencana pemerintah Indonesia untuk mendirikan lembaga seperti
Sharoushi di Indonesia. “Kami akan membantu Indonesia seperti kirim
konselor gratis ke Indonesia. Kami juga ingin ekonomi Indonesia maju,”
kata Kenzo.
Kenzo menjelaskan, Sharoushi didirikan tahun 1968 oleh pemerintah
Jepang melalui Kementerian Ketenagakerjaan, Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial Jepang (Ministry of Labor and Ministry of Health and Welfare).
Lembaga ini didirikan, kata dia, karena waktu itu terjadi unjuk rasa
buruh secara besar-besaran di Jepang.
Untuk menyelesaikan itu semua, kata dia, pemerintah dan pengusaha
Jepang serta perwakilan pekerja di sana duduk satu meja untuk mendirikan
sebuah lembaga konsultan yang berdiri di tengah-tengah antara
pengusaha, pekerja dan pemerintah ketika terjadi masalah ketenagakerjaan
antara pekerja dan pengusaha.
Dalam perkembangannya, kata Kenzo, keberadaan Sharoushi sangat
membantu dan tidak mengalami kendala yang memadai. “Di Jepang jarang
terjadi demo buruh atau pekerja, atau masalah ketenagakerjaan yang
serius karena bisa diselesaikan melalui lembaga ini,” kata Kenzo.
Sampai saat ini, Sharoushi terdiri dari 38.000 orang anggota yang
terdiri dari para pakar dari berlatar belakang ilmu seperti seperti
hukum (lawyer), ekonomi, sosiologi, kesejahteraan sosial dan
sebagainya. “Jadi, lembaga kami melakukan pengawasan untuk enam juta
perusahaan di seluruh Jepang,” kata dia, seraya menambahkan, misi utama
Sharoushi adalah memajukan ekonomi Jepang. Sharoushi berkantor pusat di
Tokyo, dan mempunyai kantor cabang di semua daerah Provinsi di Jepang.
Keberadaan lembaga Sharoushi ini sejak berdirinya dikukuhkan oleh
sebuah undang-undang, sehingga keberadaannya sah dan independen.
“Lembaga ini independen. Kalau pengusaha salah, kita katakan salah, dan
kalau pekerja salah, kita katakan salah. Lembaga ini selalu ambil jalan
tengah kalau tidak ada titik temu dua belah pihak, dan pasti dipatuhi
pekerja dan pengusaha,” kata Kenzo.
Secara garis besar masalah yang selalu ditangani Sharoushi adalah
masalah penentuan upah minimum, jaminan pensiun, jaminan kesehatan,
kecelakaan kerja, jaminan sosial dan kesehatan dan haritua untuk
penyandang disabilitas (cacat).
Menurut Kenzo, fungsi lain dari Sharoushi adalah memberdayakan
perusahaan-perusahaan kecil di Jepang agar menjadi besar. “Ada sebagian
kecil perusahaan di Jepang yang tidak bisa membayar upah buruh sesuai
ketentuan upah minimum. Agar mereka bangkit, Sharoushi memberikan
pelatihan dan jalan keluar agar mereka menjadi besar,” kata Kenzo.
Dikatakan, agar Sharoushi berdiri dan menjalankan kegiatannya
sehari-hari, maka semua perusahaan di Jepang mengakolasikan dananya
dengan besaran tertentu untuk disalurkan ke lembaga ini. “Biasanya kalau
ada sengketa kami menyelesaikannya, maka kami mendapat honor dari
perusahaan bersangkutan,” kata dia. Dengan adanya lembaga ini, kata dia,
semua masalah ketenagakerjaan di Jepang tidak pernah diselesaikan di
pengadilan.
Sementara Counselor of Minister’s Secretariat, Ministri of Health,
Labour and Walfare of Japan, Ryuji Satomi, mengatakan, penentuan upah
minimum di Jepang dilakukan dewan pengupahan daerah provinsi, dan kalau
terjadi permasalahan dalam penentuan upah ini, kata dia, maka Sharoushi
maju. “Kalau Sharoushi maju, maka selesailah masalah,” kata Ryuji di
kantornya, ketika ditemui tim dari Indonesia, Selasa (29/10) sore.
Dewan pengupahan provinsi, kata dia, dalam menentukan upah minimum
berdasarkan tiga hal yakni, standar hidup layak di Jepang, kesepakatan
antara pekerja dan pemberi kerja serta kemampuan dari pemberi kerja
dalam memberikan upah kepada pekerja. “Saat ini upah minimum di Jepang
rata-rata 740 Yen Jepang per jam. Umumnya, upah minimum di Jepang naik
sebesar 2% setiap tahun,” kata Satomi.
Sumber : beritasatu.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment