Friday, January 17, 2014

Si miskin ditolak berobat, pejabat malah dibiayai ke luar negeri

eraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2013 yang memberikan fasilitas bagi pejabat negara untuk berobat keluar negeri menimbulkan polemik. Terlebih jika dikaitkan dengan masih tingginya angka kemiskinan di Tanah Air.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) termasuk salah satu yang mengecam keras dan menolak pemberian asuransi kesehatan kepada menteri dan pejabat itu. Terlebih di dalamnya termasuk penjaminan berobat di luar negeri. Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan 10,3 juta orang miskin yang banyak ditolak berobat karena tidak masuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Kita kutuk keras perpres ini keluar. Tapi kenapa Perpres 105 dan 106 memberikan fasilitas kepada pejabat berobat di luar negeri. Aneh karena mereka mengatakan kalau 10,3 juta orang miskin tidak teranggarkan," ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam diskusi refleksi akhir tahun 2013 di Wisma Antara, Jakarta, Senin (30/12).

Biaya hidup mahal, wajar buruh minta upah tinggi

Data Survei Biaya Hidup 2012 dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam penelitian itu, disebutkan Jakarta merupakan kota dengan biaya hidup tertinggi se-Indonesia, mencapai rerata Rp 7.500.726 per bulan untuk setiap rumah tangga.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, rata-rata biaya hidup Jakarta itu didasarkan asumsi bahwa satu rumah tangga menanggung 4 anggota keluarga. "Sedangkan secara nasional, rata-rata biaya hidup di perkotaan sebesar Rp 5,6 juta," ujarnya.
Dari segi pembentuk biaya hidup, bahan makanan menyedot belanja rutin rumah tangga tertinggi, mencapai 35,04 persen. Disusul kemudian belanja non-makanan yang wujudnya bervariasi, sebesar 64,96 persen dari pengeluaran rutin masyarakat.

Buruh tagih janji Jokowi-Ahok usir perusahaan tak patuhi UMP

Ada sekitar 25 perusahaan yang kebanyakan merupakan anggota Apindo, melakukan penangguhan kenaikan UMP 2014 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perusahaan-perusahaan tersebut keberatan memenuhi standar UMP DKI Jakarta Rp 2,4 juta yang menurut mereka terlalu tinggi.
Penangguhan ini mendapat respons keras dari buruh. Presiden KSPI Said Iqbal menuding, perusahaan yang melakukan penangguhan merupakan pengusaha gelap.
"Nampaknya pengusaha hitam itu adalah cirinya membayar upah murah, selalu menggunakan outsourcing, tidak mau kasih jaminan pensiun, jaminan kesehatan limit, kebetulan paling sering dikemukakan Apindo," ujar Said saat diskusi refleksi akhir tahun 2013 di Wisma Antara, Jakarta, Senin (30/12).

DPR: Sepanjang 2013 nasib buruh Indonesia masih buram

Sepanjang tahun ini, DPR mencatat masih banyak kasus eksploitasi buruh secara massif dan sistematis di Indonesia, meski konstitusi dan peraturan perundang-undangan (UU) telah menjamin hak buruh untuk hidup secara adil dan layak.

"Namun sepanjang periode 2013 kondisi perburuhan di Indonesia masih diwarnai potret buram yang terjadi baik di sektor BUMN maupun sektor swasta di mana terjadi berbagai bentuk pelanggaran," kata Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Diah Pitaloka, dalam siaran persnya, Kamis (2/1).

Rieke, politisi PDI Perjuangan itu menjelaskan beberapa catatan, di antaranya; perusahaan negara melanggar hukum dan mengeksploitasi pekerjanya serta terjadi PHK sewenang-wenang terhadap sedikitnya 2000-an pekerja outsourcing di BUMN.

Kesejahteraan rendah, alasan buruh tuntut hapus outsourcing

Wajar saja, jika belakangan ini buruh kerap kali berunjuk rasa menuntut penghapusan sistem kerja alih daya atau outsourcing di Indonesia. Bahkan, buruh yang sudah lama bekerja menuntut agar diangkat menjadi karyawan tetap.
Pasalnya, tenaga outsourcing memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah ketimbang karyawan kontrak dan tetap.
"Sangat jauh, dengan karyawan yang kontrak saja perbedaannya bisa 30 persen," ucap
Kepala Kajian Pekerjaan Layak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi Asmat, saat memaparkan hasil riset tentang pekerjaan layak dan agraria untuk kurangi kemiskinan, di Jakarta, Kamis (16/1).

5 Masalah tenaga kerja dan lapangan kerja di Indonesia

Tenaga kerja dan lapangan pekerjaan masih menjadi bahasan yang menarik di Indonesia. Terlebih jika dikaitkan dengan bonus demografi yang seharusnya punya potensi dan peran besar dalam pembangunan ekonomi nasional.
Hampir setiap tahun, tenaga kerja atau buruh di Indonesia selalu turun ke jalan. Masalah yang dibawa selalu sama yakni soal kesejahteraan. Mereka selalu menuntut kesejahteraan yang lebih baik. Padahal, setiap tahun pemerintah selalu menaikkan upah minimum provinsi (UMP) yang dijadikan rujukan menentukan besaran upah bagi buruh. Tapi kenyataannya, buruh selalu meminta kenaikan gaji yang lebih besar.
Persoalan terkait ketenagakerjaan tidak hanya terjadi di sumber daya manusia (SDM). Hasil kajian Bank Dunia dan CSIS memberi gambaran nyata mengenai persoalan dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Tingginya angka tenaga kerja tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Akibatnya, angka pengangguran di Indonesia masih tergolong cukup tinggi.