Tuntutan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 50% untuk tahun
depan, sebagaimana digaungkan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (KSPI), mendapat tanggapan serius dari pengusaha. Bagi dunia
usaha, tuntutan para pekerja agar UMP naik 50% sebulan bagai duri dalam
daging.
Bagi pekerja, tuntutan kenaikan UMP adalah logis dan
wajar. Mereka menyebutkan upah kaum pekerja di negeri ini terbilang
sangat tertinggal dibanding negara jiran, seperti Thailand, yang sudah
mencapai Rp 2,8 juta per bulan dan Filipina yang tercatat sebesar Rp 3,2
juta per bulan. Di samping itu, dilihat dari besaran inflasi dan dampak
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, penghasilan yang
diterima kaum pekerja saat ini sudah amat tidak memadai. Mereka menyebut
daya beli buruh ambruk pascakenaikan harga BBM bersubsidi.
Pengusaha
pun punya logika sendiri. Bagi dunia usaha, tuntutan kenaikan upah
hingga 50% sama saja dengan upaya “membunuh” perusahaan. Pengusaha
beralasan, ketika kenaikan UMP sebesar 40% tahun ini saja sudah muncul
persoalan besar bagi struktur keuangan perusahaan, yang membuat dunia
usaha terpaksa merumahkan 65.000 ribu karyawan. Apalagi dengan kenaikan
UMP hingga 50%, tentu tidak terbayangkan berapa lagi karyawan yang bakal
di-PHK.
Ekonom Biaya Tinggi
Saling
beradu-alasan antara buruh dan pengusaha memang sudah menjadi hal rutin
setiap kali ada tuntutan kenaikan upah pekerja. Ironisnya, persoalan ini
juga kerap tak pernah selesai di jagad Indonesia ini. Baik pengusaha
maupun buruh mempunyai landasan pemikiran serta alasan yang yang
sama-sama logis dan benar. Jadi, sudah saatnya kedua komponen penting
dalam membangun produktivitas nasional ini menjalin hubungan yang baru
dan dinamis.
Dalam wawasan manajemen, hubungan buruh dan
pengusaha bukanlah dua seteru yang saling melindungi kepentingan
masing-masing. Sejatinya, keduanya terikat hubungan saling menyokong
(interdependent co arising) yang berdimensi jangka panjang. Hubungan
jangka panjang keduanya berarti hubungan saling menopang, menguatkan,
dan menumbuhkan antara satu dengan yang lain.
Dalam konteks
jangka panjang, hubungan yang tak harmonis pasti tak membuat perusahaan
berkembang, stagnasi. Bagaimanapun kualitas produk bergantung kepada
kompetensi buruh. Paradigma sekarang pun mengatakan bahwa buruh bukan
lagi sekadar pekerja kasar. Buruh atau pekerja adalah pemain utama untuk
kesuksesan perusahaan. Kalau perusahaan ingin terus eksis dan bersaing
di percaturan global, kompetensi buruh harus terus ditingkatkan.
Buruh yang berkompetensi (knowledge worker)
bernilai tinggi bagi hidup, tumbuh, dan majunya perusahaan. Keberadaan
para pekerja yang berketrampilan tinggia akan mampu melejitkan
profitabilitas perusahaan. Kalau perusahaan ingin bertahan dari pesaing
yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri, maka keberadaan pekerja
berkompetensi menjadi keniscayaan.
Perusahaan yang berkelas pasti
akan terus memoles kompetensi karyawan hingga menjadi aset berharga. Di
tengah pesaingan global, kualitas produk harus terus dipacu. Produk
lama harus terus-menerus dimodifikasi dan diberi nilai tambah (added
value) agar dapat mempertahankan posisinya. Apalagi, pasar kian liberal,
tak ada lagi proteksi dan monopoli. Berbagai produk lintas negara bebas
meramaikan pasar dalam negeri. Kalau perusahaan tak mampu memberi nilai
tambah pada produknya, maka ancaman kematian akan segera berada di
depan mata.
Makanya menciptakan nilai tambah produk tak dapat
dipisahkan dengan kualitas dan kompetens pekerja. Nilai tambah produk
hanya akan muncul dari tenaga kerja yang memiliki inovasi dan
kreatifitas yang mumpuni. Karena itu, dalam sudut pandang manajemen
sumber daya manusia (SDM), pekerja memiliki kedudukan yang tinggi
dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika pekerja dikelola
dengan manusiawi, disuplai kebutuhannya secara layak, dikembangkan
potensi, dan diangkat derajatnya, maka dari sanalah tercipta daya saing
dan keuntungan bagi kentungan bagi perusahaan.
Di Indonesia,
pekerja masih identik dengan beban perusahaan, sebuah komponen
perusahaan berbiaya tinggi, high cost. Itulah makanya perseteruan antara
buruh dan pengusaha kerap terjadi di negeri ini. Pengusaha berkeinginan
para pekerja/karyawan bekerja sebaik- baiknya, dengan produktivitas
setinggi-tingginya, sementara pekerja merasa mereka dieksploitasi karena
upah yang mereka peroleh dari perusahaan sangat minim.
Coba saja
sejenak kita tengok para pekerja yang bekerja di pabrikpabrik. Amatlah
jarang atau tak ada sama sekali langkah-langkah pengusaha yang bekemauan
mengupgread kemampuan pekerjanya itu. Sepanjang waktu, kemampuan buruh
begitu-begitu saja dan gajinya pun diplot tak pernah berubah sepanjang
waktu.
Bercermin dari hasil survei Forum Ekonomi Dunia (2010),
tampak jelas bahwa komponen biaya pekerja terbukti hanya 9-12% dari
keseluruhan ongkos produksi. Bandingkan dengan komponen biaya bahan
bakar yang mencapai 30-50%, listrik 20-30%, dan pungutan liar yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi malah bisa mencapai 19-24%. Seandainya
ekonomi biaya tinggi ini bisa diberantas, pasti ada sejumlah uang yang
dapat dialokasikan untuk menaikkan UMP para pekerja sebagaimana yang
dituntut selama ini.
Penciptaan Iklim Usaha
Di
tengah persaingan global sudah saatnya buruh dan pengusaha bersatu.
Bukan gontok-gontokkan seperti sekarang. Dunia usaha harus rela
mengalokasikan sebagian dana untuk peningkatan kompetensi buruh.
Sebaliknya, para pekerja harus berkerja keras dengan menciptakan produk
inovatif yang dihasilkan perusahaannya. Di sisi lain, pemerintah tak
perlu terlalu memaksa diri untuk memasuki pusaran konflik buruh dan
pengusaha.
Pemerintah harus fokus saja pada upaya penciptaan
iklim investasi yang kondusif, pemberantasan pungutan liar dan penegakan
hukum umumnya, pemberantasan korupsi, dan pembangunan infrastruktur
yang selama ini masih menjadi kendala serius. Jika iklim usaha di
Indonesia kian kondusif dan bersih dari praktik pungutan liar yang
membebani keuangan perusahan, setidaknya akan ada penghematan biaya
hingga 24% yang dapat dialokasikan bagi UMP.
Sementara itu, 26%
lainnya bisa dipakai untuk meningkatkan kualitas dan nilai jual produk.
Percayalah, dengan produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah, pasar
tak akan segan menyerapnya dengan harga berapa pun. Dengan begitu, dunia
usaha, pemerintah, dan para pekerja pun tak lagi disibukkan oleh urusan
kenaikan UMP.
Sumber : investor.co.id
No comments:
Post a Comment