Setiap menjelang pergantian tahun atau beberapa bulan
menyambut tahun baru, masyarakat selalu disuguhi dengan tuntutan buruh
tentang kenaikan upah minimum baik kabupaten/kota atau provinsi.
Para
buruh turun ke jalan mendesak pemerintah untuk menyetujui kenaikan
upah, bukan menuntut penurunan upah karena kebutuhan hidup layak (KHL)
juga dianggap naik. Tuntutan para buruh sebenarnya wajar karena memang
setiap tahun akan terjadi inflasi yang membuat kebutuhan hidup
masyarakat semakin naik. Di sisi lain, perusahaan mengeluhkan tuntutan
para buruh tersebut karena kenaikan upah akan menaikkan biaya produksi
mereka.
Misalnya ada kenaikan, para pengusaha mempunyai
hitung-hitungan sendiri dan tentu berbeda dengan para buruh. Artinya
memang pada menjelang pergantian tahun, antara buruh dan pengusaha
selalu sulit menemukan titik temu tentang upah minimum. Di sini, peran
pemerintah untuk memediasi agar menemukan titik temu besaran upah
minimum.
Perselisihan antara buruh dan pengusaha tentang upah
minimum akan sulit didapat jika tidak saling mengenal. Akibatnya
hubungan buruh-pengusaha yang semestinya mesra justru yang terjadi
hubungan konflik, terutama soal pengupahan. Solusi idealnya memang duduk
bareng untuk membicarakan berapa besaran upah minimum.
Namun,
hasil pertemuan sering menimbulkan “luka” bagi salah satu pihak.
Contohnya pada 2013 ini ketika penentuan upah minimum di Provinsi DKI
sebesar Rp2,2 juta, membuat kecewa para pengusaha karena dianggap
terlalu besar, namun membuat buruh semringah karena kenaikan yang
mencapai sekitar 44% atau dari sekitar Rp1,53 menjadi Rp2,2 juta.
Ritual
para buruh untuk menuntut kenaikan upah minimum tiap tahun adalah turun
ke jalan atau melakukan demonstrasi. Sebagian besar masyarakat
mengeluhkan aksi turun ke jalan ini, karena ribuan buruh seperti menutup
akses jalan-jalan protokol sehingga menimbulkan kemacetan yang luar
biasa. Bahkan, para buruh pernah menutup akses jalan tol yang mengganggu
kegiatan masyarakat lain.
Akibatnya yang muncul bukan empati
kepada para buruh, namun justru antipati kepada aksi yang dilakukan
buruh. Aksi ini sepertinya sudah menjadi agenda tahunan hingga mereka
memiliki seragam khusus untuk melakukan aksi dengan penutup kepala dan
baju yang seragam.
Pertanyaannya, kenapa aksi turun ke jalan
justru menjadi rutinitas bagi para buruh? Jawaban sederhananya adalah
tidak ada titik temu ataupun hubungan yang mesra antara buruh dan
pengusaha. Meski diyakini, tidak semua perusahaan yang mempunyai
hubungan tidak mesra dengan para buruhnya. Namun, ritual turun ke jalan
para buruh untuk menuntut kenaikan upah minimum menunjukkan adanya
kegagalan komunikasi organisasi.
Pengusaha gagal memberikan
pengertian kepada para buruh begitu juga para buruh gagal memberikan
pengertian kepada pengusaha. Semestinya jika ini sering terjadi,
pengusaha dan para buruh bisa duduk bersama untuk menyelesaikan besaran
upah minimum. Perusahaan harus jujur tentang kondisinya kepada para
buruh, sedangkan para buruh juga harus realistis dalam menuntut
kenaikan.
Memang itu sulit diwujudkan karena memang pada tataran
idealis ataupun teoretis, namun itu harus ditempuh jika memang itu
persoalan yang muncul setiap tahunnya. Apa pun, aksi turun ke jalan para
buruh berdampak tidak baik bagi semua pihak.
Masyarakat lain
merasa dirugikan karena terganggu aktivitasnya, para pengusaha juga
dirugikan karena roda produksi harus terhenti, para buruh juga akan
dicap sebagai tukang demo bukan seorang pekerja, pemerintah juga akan
dinilai gagal melakukan mediasi dan yang lebih parah, pihak di luar
bangsa ini akan menilai doing businessdi negeri ini kurang baik.
Akibatnya, para investor akan berpikir ulang untuk menanamkan uangnya di Indonesia. Apalagi pada 2015 akan dimulai AFTA (ASEAN Free Trade Area)
yang membuat para pengusaha di negeri ini akan lebih mudah hengkang ke
negara lain, akibatnya kondisi ekonomi negeri ini yang menjadi
taruhannya.
Para buruh sebaiknya merenungkan kembali tentang
aksi-aksinya di jalanan sedangkan para pengusaha juga harus lebih
proaktif untuk mengomunikasikan persoalan ini.
Sumber : sindonews.com
No comments:
Post a Comment