Dari berbagai indikator, terlihat perekonomian kita tengah mengalami
persoalan kompleks. Pertama, neraca perdagangan September kembali
defisit 657,2 juta dollar AS, setelah Agustus sempat surplus 71 juta
dollar AS. Impor bahan baku masih tinggi, sementara ekspor terpuruk,
menandakan lemahnya daya saing dan rapuhnya struktur industri domestik.
Kedua, pertumbuhan triwulan III sebesar 5,6 persen, turun dari triwulan
II sebesar 5,8 persen dan triwulan I sebesar 6 persen. Sulit tahun ini
kita mampu tumbuh 5,8 persen.
Menanggapi data itu, pasar cenderung bergerak negatif. Pada Jumat
minggu lalu, nilai rupiah ditutup melemah 20 poin dibandingkan dengan
hari sebelumnya menjadi Rp 11.401 per dollar AS. Sementara itu, indeks
harga saham gabungan melemah sekitar 10 poin ke level 4.476. Padahal,
akhir Oktober lalu, indeks pasar sempat naik ke level 4.590 dan kurs
pada Rp 11.018 per dollar AS. Bahkan, di pasar sudah diperdagangkan di
bawah Rp 11.000. Dinamika pasar benar-benar mencerminkan situasi
fundamental. Tak mungkin mengendalikan gejolak pasar tanpa menyelesaikan
masalah fundamentalnya.
Di mana sebenarnya letak persoalan pokoknya? Baru saja
International Finance Corporation (IFC) melansir data peringkat Doing
Business 2014 dan menempatkan Indonesia di urutan ke-120. Meski terjadi
perbaikan, negara tetangga jauh lebih progresif, sehingga tetap saja
kita tertinggal jauh. Sebuah pertanda bahwa kita cenderung malas
melakukan transformasi.
Selain itu, tarik ulur berkepanjangan penentuan upah minimum
provinsi (UMP) 2014 juga menandai kesenjangan struktural pada
perekonomian kita. DKI Jakarta hanya menaikkan UMP sebesar 9 persen
menjadi Rp 2.441.301. Tahun lalu naik sekitar 44 persen. Tahun ini,
kenaikan terbesar terjadi di Bengkulu, sekitar 45 persen dari Rp 930.000
menjadi Rp 1.350.000. Kalimantan Barat juga naik signifikan sebesar 30
persen. Bagaimana kita memahami tarik ulur strategi pengupahan ini?
Soal pengupahan dan gerakan buruh tak cukup dipahami dari relasi
ekonomi semata. Jadi, argumen tentang produktivitas (perusahaan) dan
daya saing (nasional) sering tak membantu menjelaskan. Di satu sisi
sangat bisa dipahami keberatan pengusaha memenuhi tuntutan pekerja
menaikkan UMP sebesar Rp 3,7 juta. Bagaimana mungkin dilakukan dalam
struktur ekonomi yang begitu rapuh. Beberapa perusahaan memilih tutup
(terutama sektor padat karya), otomatisasi atau relokasi.
Implikasinya, penawaran tenaga kerja akan menurun. Ditambah
dengan pelambatan ekonomi, kemampuan perekonomian menyerap tenaga kerja
pasti akan menurun, sehingga jumlah penganggur akan bertambah. Belum
lagi soal lemahnya daya saing sehingga akan semakin termarjinalisasi
ketika rezim perdagangan bebas dibuka. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
lebih menjadi ancaman ketimbang peluang.
Di sisi lain, buruh punya hak (ekonomi dan politik) untuk
meningkatkan daya tawar mereka melalui berbagai gerakan dan berbagai isu
relevan, mulai dari kenaikan UMP, penghapusan tenaga alih daya, hingga
jaminan sosial. Argumen mereka, kenaikan UMP akan meningkatkan sisi
permintaan dalam ekonomi sehingga akan mendorong produksi. Dari sana
terlihat, persoalan kenaikan UMP sama sekali tak sekadar isu ekonomi
serta soal hubungan buruh-pengusaha. Persoalannya jauh lebih kompleks.
Memahami dilema tersebut, teringat tulisan usang ekonom liberal
Milton Friedman di New York Times (1970) yang berisi, satu-satunya
tanggung jawab perusahaan adalah mencetak laba dan membayar pajak dengan
benar. Selebihnya serahkan kepada pihak lain untuk mengatasinya. Dalam
perspektif ekonomi yang paling liberal sekalipun, peran negara
”diandaikan” ada. Dengan membayar pajak dengan baik, para kapitalis
mengandaikan negara hadir menyelesaikan persoalan kesejahteraan lewat
berbagai cara.
Argumen Gubernur DKI pasca-penetapan UMP sebesar Rp 2,4 juta
menarik dicermati. Mengapa tahun lalu naik lebih dari 40 persen dan
tahun ini kurang dari 10 persen? Karena pemerintah provinsi tak hanya
bertumpu pada strategi pengupahan dalam meningkatkan kesejahteraan
buruh. Tahun ini Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar
(KJP) sudah berjalan sehingga beban seluruh warga, termasuk buruh,
berkurang. Jika cara pandang ini dijalankan dalam kerangka yang lebih
luas, juga pada level nasional, niscaya akan memecahkan berbagai
persoalan struktural.
Bayangkan saja, jika di kawasan-kawasan industri diharuskan
dibangun apartemen dan rumah susun bagi para buruh yang bekerja di sana,
hal itu akan menekan signifikan biaya transportasi. Begitu pula jika
pada level nasional ada strategi ketahanan pangan dan energi yang baik,
maka harga tidak akan liar seperti sekarang ini. Kenaikan harga energi
serta pangan memberi efek seragam, baik pada buruh maupun pengusaha.
Bedanya, buruh jauh lebih rentan terhadap fluktuasi harga.
Seandainya pajak dibayar dengan benar, terutama oleh para
eksportir minyak dan gas, serta produk komoditas primer (batubara dan
kelapa sawit), dan seandainya pemerintah punya kinerja yang baik dalam
melakukan perombakan birokrasi, tata kelola serta pembangunan fasilitas
publik, situasinya akan menguntungkan, baik bagi buruh maupun pengusaha.
Sayangnya, selama ini kita hanya melakukan sesuatu yang baik saat
situasinya sudah sangat buruk dan memaksa melakukannya (reaktif). Kita
tidak pernah melakukan perubahan berarti pada saat situasinya baik
(proaktif). Rencana jangka panjang dan strategi pembangunan tak lebih
sekadar kertas kerja. Bahkan, ketika situasinya sudah buruk, semua pihak
cenderung memperjuangkan kepentingan diri dan kelompok masing-masing.
Soal pengupahan, sebenarnya ada agenda bersama yang bisa dibangun
antara buruh dan pengusaha, yaitu menuntut pemerintah melakukan
reformasi dalam berbagai bidang. Persoalan buruh tak lagi bisa
diselesaikan secara bipartit, tetapi harus komprehensif dengan
mengundang keterlibatan pemerintah lebih aktif. Pemerintah sudah terlalu
lama absen. Jika pun dilakukan, hanya sebagian oleh para birokrat
profesional, sementara sebagian lainnya sibuk berpolitik.
Sumber : kompas.com
No comments:
Post a Comment