Tudingan Bapak Pelopor Upah Murah Indonesia yang disematkan kepada
Jokowi oleh kalangan buruh, seperti hendak mengkonfirmasi beberapa fakta
yang terjadi diberbagai daerah. Begitu Gubernur DKI Jakarta memutuskan
nilai upah minimum sebesar Rp. 2.441.301,00, daerah-daerah lain seperti
tersandera dan begitu terbebani ketika hendak memutuskan upah minimum
yang lebih tinggi. Dan akhirnya hampir semua daerah berkiblat ke Ibu
Kota Negara.
Kita bisa lihat, sejauh ini, ada beberapa daerah yang hampir
dipastikan nilai upah minimumnya lebih tinggi dari DKI Jakarta. Tetapi
tetap saja, angkanya tak jauh berbeda. Sebut saja Kabupaten Karawang
(2.447.450); Kabupaten Bekasi (Rp. 2.447.445); Kota Bekasi (2.441.954);
Kota Tangerang (Rp. 2.444.301); Kota Tangerang Selatan (Rp. 2.442.000);
Kabupaten Tangerang (2.442.000); dan Kota Cilegon (Rp. 2.443.000).
Di Tahun 2014, upah minimum tertinggi adalah Kabupaten Karawang.
Dimana Rp. 6.450,- lebih tinggi dari DKI Jakarta, atau hanya terpaut 5
(lima) rupiah dengan Kabupaten Bekasi.
Padahal ditahun 2013 ini, upah minimum DKI Jakarta adalah nomor 2
(dua), di angka Rp. 2.200.000,00. Dibawah Kota Tangerang yang besarnya
mencapai Rp. 2.203.000,00.
Data diatas hanya berupa angka-angka. Namun ia menjelaskan banyak
hal. Jika saja Jokowi tidak terburu-buru memutuskan nilai UMP DKI
Jakarta, situasinya akan sedikit berbeda. Karena bisa jadi,
daerah-daerah yang lain pun masih bisa memberikan upah minimum lebih
besar dari apa yang saat ini sudah diputuskan.
“DKI menjadi patokan. Semua mengarah kesana. Dari unsur pemerintah
sudah tegas mengatakan, jika pun lebih tinggi dengan DKI, nilainya tidak
mungkin terpaut jauh,” ujar seorang kawan yang menjadi anggota dewan
pengupahan sore itu, dalam sebuah rapat koordinasi menyikapi
perkembangan upah minimum.
Saya juga pernah menjadi anggota Dewan Pengupahan Kabupaten, sekitar
tahun 2007. Memang benar, pengaruh daerah sekitar sangat luar biasa
besarnya. Masing-masing seperti hendak menjaga jarak. Misalnya, ada
semacam peraturan tak tertulis, bahwa Kabupaten Serang harus lebih kecil
dari Kabupaten Tangerang. Padahal dua daerah ini saling berhimpitan dan
hanya dipisahkan oleh jembatan.
Ketika kemudian buruh menuding bahwa Jokowi adalah Bapak Pelopor Upah
Murah Indonesia, saya bisa memahami. Keputusan Jokowi, langsung atau
tidak langsung, telah memberikan pengaruh besar terhadap daerah sekitar.
Mirip teori ‘butterfly effect’, sebuah keputusan disatu daerah, akan
memberikan pengaruh yang besar terhadap daerah sekitar.
Disatu sisi, sangat mudah dipahami jika kemudian pernyataan ini
seperti hendak menantang badai. Apalagi, saat ini, Jokowi adalah sosok
paling berpeluang menjadi Presiden RI dalam pemilu 2014 nanti. Apapun
kritik terhadap Jokowi, akan mendapatkan respon balik yang sangat cepat
dari para pendukungnya. Tapi kita tak peduli dengan itu. Ini bukan soal
‘memusuhi’ Jokowi, tetapi ini soal, bagaimana kita mengingatkan
kebijakannya yang tidak pro terhadap buruh.
“Buruh sudah dipolitisasi,” ujar seseorang.
“Perjuangan buruh memang perjuangan politik,” timpal yang lain. “Dan keputusan tentang upah minimum adalah keputusan politik.”
Dari upah yang sudah ditetapkan, kita bisa menilai kemana seorang
pemimpin berpihak. Siapa yang dimenangkan dengan keputusan itu. Bahkan
Wakil Gubernur Ahok yang pernah mengatakan upah di DKI Jakarta idealnya
sebesar 4 (empat) Juta pun, yang saat itu seperti menjadi oase ditengah
padang gersang, ternyata tak lebih dari sekedar cerita manis penghantar
tidur.
Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) menjanjikan perlawanan
terhadap upah murah masih akan berlanjut. Sebab, menurut mereka,
landasan dari semua ini adalah adanya Inpres Nomor 9 Tahun 2013 dan
Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013. Oleh karena itu, KNGB juga menuntut
agar Inpres dan Permenakertrans tersebut dihapuskan.
Saat ini buruh bahkan sudah mengajukan angka kompromi untuk
daerah-daerah padat industri di Indonesia untuk tahun 2014, sebesar Rp.
2,7 hingga 3 juta. Tentu angka itu sudah jauh lebih kecil dari tuntutan
semula.
Kita sedang menguji kepedulian Jokowi, kemana sesungguhnya sosok yang
diidolakan banyak orang menjadi Presiden RI yang akan datang ini
berpihak. Revisi keputusan terhadap adalah hal yang biasa. Tak hanya
pernah dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, tetapi juga
dilakukan oleh banyak Gubernur lain di berbagai daerah. Revisi itu,
justru menjadi tanda cinta dari sang Gubernur terhadap rakyatnya.
Jika pun kemudian Gubernur memutuskan untuk tidak melakukan revisi,
itu memang sudah menjadi kewenangannya. Tetapi jika kemudian buruh
memutuskan untuk tidak memilih Presiden yang pro upah murah, itu pun
juga menjadi kewenangan mereka.
Sumber : fspmi.co.id
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment