Solidaritas.net, Analisa -- Salah satu media online Indonesia, Berita Satu, baru-baru ini merilis berita tentang Deklarasi Gerakan
Anti Kekerasan (Gebrak) yang dimotori oleh dua konfederasi buruh, yakni Konfederasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Pro Perubahan dan Konfederasi Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).
Dilihat sepintas, Gebrak seperti muncul sebagai perlawanan
terhadap ormas yang melakukan kekerasan terhadap buruh yang marak belakangan
ini. Puluhan buruh menjadi korban penganiyaan anggota ormas saat melakukan
mogok nasional bersama Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) di Bekasi, 31
Oktober 2013 lalu.
Ditambah lagi berbagai kasus premanisme yang marak di
kawasan-kawasan industri, terutama ketika buruh mau menuntut atau mogok. Demi mengamankan
kepentingan pengusaha ormas kerap menjadi centeng untuk berhadapan dengan aksi
dan mogok buruh.
Di berita berjudul “Anggota Jadi Korban Kekerasan, KSPSI dan
KSBSI Deklarasikan Gebrak” (Beritasatu.com,
11 November 2013, Presiden KSPSI Andi
Gani Nena Wea mempersoalkan dua orang anggotanya yang juga menjadi korban kekerasan
oleh anggota ormas.
“Tak hanya itu, Aksi Mogok Nasional ini juga menjadi
penyebab penusukan oleh oknum ormas kepada dua anggota KSPSI di Bekasi.” (Andi
Gani)
Sebenarnya Andi Gani menyadari benar bahwa yang melakukan kekerasan
terhadap anggotanya adalah anggota ormas, tapi Andi justru menyalahkan Mogok
Nasional sebagai penyebabnya.
Siapa sebenarnya yang digebrak oleh Andi Gani, ormas yang
melakukan aksi kekerasan atau buruh yang melakukan mogok nasional?
Pimpinan serikat buruh yang punya usaha tambang batu bara
ini lebih banyak mempersoalkan aksi sweeping yang sebagai tindakan yang tidak
elegan, ketimbang para pelaku penganiyaan yang jelas-jelas memukul bahkan
membacok buruh.
Rencananya, KSBSI dan KSPSI akan melakukan aksi pada 16
Desember untuk menunjukkan aksi tanpa sweeping.
Aksi 16 Desember tersebut bisa dibilang terlambat kalau untuk menuntut upah
karena akhir November ini upah sudah final diputuskan oleh Gubernur.
Sejak awal, KSPSI dan KSBSI tidak terlibat dalam mogok
nasional yang digagas oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama
Sekber Buruh. Elit-elit KSPSI dan KSBSI merasa cukuplah dengan perundingan dan
aksi besar, maka tuntutan buruh bisa dipenuhi oleh pemerintah.
Dalam sejumlah kesempatan, pimpinan dua konfederasi ini
menunjukkan wataknya yang semakin lembek dan kooperatif dengan pemerintah.
Track Record
Pertama, KSBSI dan
KSPSI bertemu dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat dan perwakilan Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) pada 15 Agustus 2013 (Antaranews.com). Saat itu, MS Hidayat meminta agar pihak buruh menerima
kenaikan upah 20 persen.
Kedua, KSPSI
menyatakan sikap menuntut kenaikan upah sebesar 60 persen (Siaran Pers KSPSI, 6
September 2013).
Ketiga, Andi Gani
dan Mudhofir menjadi delegasi dalam APEC Summit 2013 pada 5-7 Oktober di Bali.
Keempat, KSPSI
melakukan aksi pada 17 Oktober menuntut upah layak, BPJS dan hapus outsourcing.
Soal upah 60 persen tak disebut-sebut lagi dalam spanduk maupun tuntutan. Aksi
KSPSI pada waktu itu terbilang besar, sampai 30 ribu. Tak pernah massa sebesar
ini diturunkan oleh KSPSI ketika masih bersama KSPI di Majelis Pekerja Buruh
Indonesia (MPBI). Aksi ini diterima dan ditampung oleh salah seorang staf
presiden.
Menperin MS Hidayat juga berharap upah tak naik 50 persen
dan mengatakan “Andi Gani rasanya sudah mengerti.” (Sindo News, 17 Oktober 2013)
Menurut salah seorang buruh anggota KSPSI yang menolak
disebut namanya, KSPSI mampu memobilisasi sebanyak itu dari anggota SPSI di
Kabupaten Bekasi. Padahal, tidak sedikit dari massa yang terlibat adalah buruh
kontrak yang turun aksi atas sepengetahuan pihak perusahaan. Sungguh mulus.
Kelima, Andi
menyatakan tuntutan upah DKI Jakarta Rp 3,7 juta tidak realistis (suarapembaruan.com, 3 September 2013).
Padahal, jika upah DKI Jakarta naik 60 persen dari Rp 2,2 juta, maka nilainya
menjadi Rp 3,52 juta. Tidak terpaut jauh dengan Rp 3,7 juta. Sayangnya, Andi
Gani tidak mengaku pernah ikut menuntut upah sebesar itu. Bahkan ia bilang upah
50 persen tidak realistis.
Keenam, Ketua SPSI
Bekasi R. Abdullah pernah mengatakan telah memberi instruksi kepada anggotanya
untuk tidak segan-segan melawan sweeping di mogok nasional akhir Oktober (Dakta.com, 26 Oktober 2013). Di Batam,
SPSI mengerahkan anggota Brigade untuk menjaga pabrik-pabrik dari sweeping. (satunews.com, 1 November 2013)
KSPSI memiliki senjata andalan dalam memperjuangkan upah,
yakni perundingan di Dewan Pengupahan. Senjata andalan ini juga tidak terbukti
keampuhannya, buktinya di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bekasi Kota dan
Kabupaten Bekasi di mana ada wakil-wakil KSPSI di Dewan Pengupahan, upah hanya
naik 10, 16 dan 22 persen. Tidak jauh dari keinginan Menperin MS Hidayat
(pemerintah) yang ingin upah naik tidak lebih dari 20 persen dan pernah
mengatakan “Andi Gani rasanya sudah mengerti”.
Di Kabupaten Bekasi, tiga serikat (FSPMI, SPN dan GSPMII)
melakukan walkout. Dengan sigap, pimpinan
KSPSI menuduh bahwa walkout-nya tiga
serikat ini menjadikan hasil perundingan upah hanya menghasilkan angka Rp 2,4
juta. Ini namanya menjadikan “sebab” sebagai “akibat”; “akibat” menjadi “sebab”,
membolak-balik fakta.
Mari kita periksa: komposisi di Dewan Pengupahan Bekasi adalah
7 orang dari pengusaha, 7 orang dari serikat pekerja, 14 orang dari pemerintah
dan 1 orang dari akademisi. Jumlah keseluruhan sebanyak 29 orang. Selama beberapa
hari, 29 orang ini melakukan perundingan tanpa hasil hingga akhirnya harus
voting.
Pengusaha berposisi ekstrim, sama sekali tidak ingin ada kenaikan upah
(nol persen). Pemerintah dan serikat buruh masih bisa tawar-menawar angka kenaikan,
meski pemerintah ingin angka kenaikan yang kecil saja.
Jika serikat pekerja yang berposisi upah harus naik lebih tinggi dari Rp
2,4 juta melakukan voting dan kalah di angka Rp 2,4 juta, maka tidak
absah bagi
serikat pekerja tersebut untuk melakukan demonstrasi menggugat hasil
voting
tersebut. Persis seperti partai politik yang
tidak boleh menggugat kekalahannya dalam Pemilu yang sudah transparan.
Serikat pekerja yang walk-out
juga seharusnya menjelaskan dengan benar, bahwa mereka bukan melakukan walk-out dari perundingan, tapi melakukan
walk-out dari voting. Walk-out adalah jalan yang paling
logis bagi tiga serikat yang jelas akan kalah jika melakukan voting
(perhatikan komposisi Dewan Pengupahan).
Setelah KSPSI ikut voting, apakah sah bagi KSPSI untuk
menggugat nilai upah hasil voting tersebut agar menjadi lebih tinggi? Tentu
tidak!
Bagi serikat yang ingin angka lebih tinggi dari Rp 2,4 juta dan
walk-out dari voting, maka arena
perjuangan berikutnya masih tersedia dan sah. Aksi ke Gubernur menjadi sah, tapi
harus disadari bahwa mogok stop produksi adalah cara yang paling ampuh. Aksi ke
Gubernur ini menjadi latihan militansi sebelum mampu stop produksi secara
menyeluruh atau signifikan.
Tentang Sweeping
Tidak semua buruh mengganggap sweeping adalah hal yang
menakutkan. Seringkali, buruh sendiri (terutama yang berserikat) justru meminta
agar pabriknya disweeping oleh buruh dari pabrik lainnya. Masih banyak buruh
yang terlalu takut pada manajemen sehingga tak berani keluar pabrik sendiri
untuk mogok, meski mogok dijamin di dalam Undang-Undang. Sweeping menjadi cara
memberanikan buruh-buruh yang masih kesulitan mendapatkan hak berorganisasi di
pabriknya.
Yang tidak disadari oleh kebanyakan pimpinan serikat buruh, sweeping adalah cermin ketidaksadaran
buruh akibat dari kurangnya pendidikan yang mengajarkan kemandirian dan
kepribadian kepada buruh untuk mogok. Hubungan patron-klien di serikat masih dominan dipertahankan, kurikulum
pendidikan terlalu terpaku pada penyesuaian diri dengan hukum ketenagakerjaan,
bukannya siasat mogok.
Celakanya, instruksi (doktrin kepatuhan) tak menjadi jaminan
kesuksesan mogok nasional. Meski sudah diinstruksikan, belum tentu pengurus serikat
di pabrik mampu berhadapan dengan pihak perusahaan. Butuh lebih dari sekadar instruksi,
butuh kesadaran untuk melakukan sebuah pemogokan maupun aksi yang dengan sendirinya bisa menghapuskan sweeping.
Yah, tidak diragukan lagi bahwa KSPSI dan KSBSI bisa
menunjukkan aksi yang “elegan” tanpa
sweeping, dan tentu saja tanpa berhenti produksi, serta tentu saja, dengan
kemudahan-kemudahan dari pihak perusahaan, bahkan buruh kontrak pun boleh ikut.
Tapi, bisakah cara-cara lembek seperti itu memenangkan
tuntutan yang besar?
Sumber : solidaritas.net
(Penulis/Kontributor: Sherr Rinn)
No comments:
Post a Comment