Pada satu sesi diskusi informal di sela pertemuan tahunan Dana Moneter
Internasional (IMF) di Washington DC, Amerika Serikat, Oktober lalu,
seorang aktivis LSM dari Brasil mengukapkan perihal konflik abadi dalam
ekonomi. Kata dia, selain perseteruan antara setan dan manusia, ada satu
lagi konflik abadi yang hingga kapan pun sulit dicarikan titik temunya.
Itu adalah konflik antara buruh dan majikan, konflik kelas pekerja
dengan kaum borjuis.
Tak heran, kata dia, pada forum-forum
internasional, terutama forum ekonomi, reformasi kebijakan buruh selalu
menjadi agenda penting untuk dituntaskan. Jika kita bentangkan tali dari
Selandia Baru di Benua Australia ke Barbados di Benua Amerika, atau
dari Yaman di Timur Tengah ke Inggris di Eropa, daftar konflik tuntutan
gaji, kesejahteraan buruh, hingga aksi mogok paling banyak menghiasi
tali itu. Makanya, kata aktivis Brasil itu, sejak kematian tokoh gerakan
kiri, Karl Marx, hingga saat ini Eropa terus digentayangi hantu yang
disebut marxisme.
Memang, terlalu ekstrem untuk membandingkan
konflik abadi buruh-pengusaha dengan manusia dan setan, selepas iblis
diusir dari surga gara-gara mengingkari penciptaan manusia (Adam). Tapi
sebetulnya, tidak salah-salah amat untuk mencap konflik buruh-borjuis
ini bersifat abadi, dalam pengertian duniawi. Lihat saja, separuh dunia
masih menghadapi demonstrasi dan tuntutan buruh, termasuk di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS).
Di Indonesia,
kita tahu sendirilah, ini seperti konflik tanpa ujung. Setiap tahun kita
selalu dihadapkan periodisasi demonstrasi butuh, mulai dari yang
terkait dengan hari-hari tertentu maupun yang tak terukur. Untuk yang
pertama, demonstrasi dan ancaman mogok kerja biasanya terjadi saat
merayakan Hari Buruh, penentuan upah minimum, hingga kegagalan
kesepakatan tripartit. Untuk yang kedua, umumnya terjadi ketika buruh
mendapat ancaman, intimidasi, gajinya tak dibayar, hak-haknya diabaikan,
hingga pemutusan kerja secara sepihak.
Pertanyaannya, mengapa
ini terus terjadi? Jangankan buruh dan pengusaha, wartawan saja mungkin
sudah bosan mengulang-ulang pertanyaan atas permasalahan ini. Namun,
sebetulnya, kata seorang wartawan dari Korea Selatan yang mengaku
penganut Neo-Marxian ini, tidak perlu orang sekelas Adam Smith, Joseph
Stiglitz, atau Ben Bernanke untuk menjawab pertanyaan ini. Dia menilai,
ini pertanyaan mudah yang bisa dijawab, bahkan oleh buruh itu sendiri.
Sedikitnya
ada tiga latar belakang mengapa konflik buruh-pengusaha terus terjadi,
bahkan sejak zaman sebelum dunia modern lahir. Ibaratnya, seperti dua
kutub yang tidak mungkin disatukan. Pertama, terkait dengan filosofi
ekonomi antara pengusaha dan buruh. Efisiensi dan mencari untung
sebesar-besarnya selalu menjadi target pengusaha, di mana pun. Ini
lumrah, alamiah, dan memang begitu seharusnya. Buruh memiliki pandangan
berbeda. Filosofi mereka: bisa hidup layak, aman secara finansial,
sejahtera, dan mendapat penghasilan tinggi. Apalagi, mereka percaya
bahwa kayanya pengusaha muncul dari keringat buruh.
Kedua,
pemilik modal menganggap buruh adalah komoditas, bukan aset yang
bernilai tinggi. Sebagai komoditas, buruh tidak ada bedanya dengan
produk yang dihasilkan, termasuk nilainya. Semakin banyak produk yang
dihasilkan, semakin murah harga produk itu. Hukum pasar ini pun berlaku
buat buruh. Sementara, buruh menilai diri mereka adalah aset perusahaan
seperti batu berharga yang harus dibayar mahal. Karena aset, gaji mereka
pun harus layak dan bagus, hidup keluarga harus terjaga.
Ketiga,
buruh ingin hari-hari dalam kehidupan mereka dimasukkan sebagai faktor
pendukung penentuan gaji. Jika mereka bekerja lima jam sehari, mereka
menganggap bukan faktor lima jam itu yang dihitung, tapi jam-jam lainnya
juga. Tak heran, jika kemudian buruh membuat daftar kebutuhan hidup
layak (KHL) puluhan, bahkan sempat di atas angka seratus. Pengusaha?
Mereka memandang nilai buruh berdasarkan hukum permintaan dan penawaran
tadi alias hukum pasar.
Jadi, tak heran jika sampai sekarang
konflik buruh dan pengusaha masih terus terjadi. Dari fitrahnya,
perbedaan di antara mereka memang sudah sangat tajam. Makanya, aktivis
LSM Brasil itu membandingkan konflik buruh-pengusaha dengan konflik
manusia-setan. Apalagi, ada ilmuwan gila, sebuat saja Marx, yang
meramalkan konflik ini akan terus abadi sampai muncul revolusi sosial,
yang menurut saya begitu utopia alias cuma ada di mimpi.
Berbeda
dengan aktivis LSM Brasil dan penganut neo-marxist di atas, Organisasi
Buruh Internasional (ILO) percaya, konflik buruh-pengusaha bisa
diselesaikan dengan terbuka dan baik. Yang penting, masing-masing pihak
bersikap rasional dan tidak keras kepala. Yakin nih?
Sumber : republika.co.id
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment