Beberapa hari yang lalu, tepatnya 1-3 November 2013, para buruh di
berbagai wilayah Indonesia melakukan demo besar-besaran. Aksi turun ke
jalan ini dilanjutkan kembali tadi pagi, Rabu, 6 November 2013. Bahkan,
para buruh menjanjikan bahwa rangkaian ini tidak akan berakhir sampai
Pemerintah mengabulkan tuntutan kenaikan UMP. Sesungguhnya inti
permohonan mereka cukup simplistik. Kaum buruh hanya ingin menikmati
geliat pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tetap ‘bertahan hidup’. Tapi,
nominal yang diajukan mereka menimbulkan kecaman berbagai pihak. Angka
paling fantastis adalah tuntutan buruh ibu kota, berkisar 3,7 juta
rupiah.
Tuntutan tersebut menyebabkan Pemerintah menjadi ‘galau’ karena harus
memilih di antara dua kutub; berpihak pada pengusaha (baca: pemilik
modal) ataukah rakyat kecil (baca: kaum buruh). Dalam merespon hal ini,
setiap pemerintah provinsi mengambil langkah berbeda-beda; ada yang
mengabulkan permintaan buruh, ada pula yang tidak mengamini permohonan
mereka dengan berbagai pertimbangan.
Saya jadi teringat dengan pernyataan Karl Marx pada karyanya Communist
Manifesto tentang pertentangan kelas yang terjadi antara kaum borjuis
dan proletar. Menurut Marx, “Sejarah dari berbagai masyarakat pada
dasarnya adalah pertentangan antar kelas”. Analisis Marx ini ternyata
terbukti hingga kini.
Faktanya, kita tidak dapat memungkiri adanya pembagian kelas dalam
realitas sosial pada berbagai sendi kehidupan; tidak hanya aspek
ekonomi, tapi juga tataran budaya, politik, hukum, bahkan gradasi
eksistensi dalam wacana Filsafat. Fenomena ini seyogyanya disikapi
dengan paradigma “keadilan”, sehingga perbedaan menjadi sebuah
keniscayaan yang mengantarkan pada keteraturan sistem di muka bumi ini
menuju “kesempurnaan”.
Namun, amat disayangkan kapitalisme justru telah memnciptakan jurang
yang menganga antara pemilik modal dan pekerja. Anak kandung liberalisme
ini menjadikan manusia tak ubahnya seperti mesin yang layak
dieksploitasi. Dalam melanggengkan industrialisasi, kapitalisme telah
menafikkan prinsip keadilan. Ini merupakan implikasi dari teori Ekonomi
Liberal yang diusung oleh Adam Smith yang mengakui kepemilikan individu.
Teori ini dikenal dengan “laissez-faire”, yang berarti “biarkan apa
yang mereka lakukan”. Di lain sisi, Smith justru mendukung kenaikan upah
buruh karena berpengaruh pada kenaikan produksi. Tapi, hal ini tak
ubahnya modus operandi untuk menguntungkan pemilik modal; melanggengkan
kapitalisme.
Demo buruh ini sebagai hal yang wajar sebagai anti-klimaks dari
kegerahan kaum proletar terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan
kaum borjuis. Dalam hal ini, tidak hanya pengusaha sebagai pelaku aktif
ketidakadilan, tapi juga pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Ketidakadilan tersebut tercermin dari pembayaran upah pekerja yang
sangat minim, resiko keselamatan kerja, ancaman PHK sepihak, tekanan
produktivitas, pemberlakuan buruh outsourcing, dan sebagainya.
Banyak masyarakat yang mengutuk demo buruh tersebut, terutama yang
mengenyam pendidikan tinggi. Termasuk, beberapa teman saya yang notabene
menyandang gelar sarjana. “Mengapa sih buruh itu selalu berkoar-koar
menuntut kenaikan gaji, padahal baru saja tahun lalu pemerintah DKI
menaikkan UMP. Hmm, mereka itu tidak pandai bersyukur ya, kita saja yang
sudah mengenyam pendidikan tinggi mendapatkan gaji seperti mereka,
bahkan lebih kecil daripada mereka. Nyadar diri ga sih mereka? Jika mau
gaji naik, ya kuliah dong!”, ujar salah satu teman yang berprofesi
sebagai karyawan kantor elit di bilangan Jakarta.
Pada konteks ini, saya tidak berpretensi menyalahkan pandangan tersebut
karena mereka sebenarnya sedang mengutuk ketidakadilan. Sebagai kelas
menengah, mereka tidak berbuat apa-apa; bahkan memang tidak merasa perlu
untuk menyuarakan apa-apa. Padahal, secara esensial mereka juga
merupakan kaum buruh karena masih bekerja untuk sang pemilik modal.
Tapi, tentunya nasib mereka jauh lebih baik daripada kaum buruh yang
bekerja di pabrik. Setidaknya mereka mengalami percepatan upah lebih
pesat dibandingkan buruh yang bekerja puluhan tahun.
Bayangkan jika permohonan buruh dikabulkan pemerintah, maka tidak hanya
kaum proletar yang menuai hasilnya, tapi juga kelas menengah. Perjalanan
sejarah memberikan gambaran posisi kaum proletar sebagai tumbal untuk
memperjuangkan hajat hidup orang banyak. Mereka harus berteriak-teriak
sampai kehausan, kelaparan tanpa bayaran nasi bungkus, cacian dari
berbagai penjuru, serta ancaman tidak dipekerjakan. Resiko itu
ditanggung mereka untuk memperjuangkan hak untuk diperlakukan lebih
mulia daripada mesin yang tak bernyawa. Padahal, draft permohonan yang
diajukan Serikat Buruh akan berimplikasi pada perubahan sistemik.
Alih-alih dieluk-elukkan sebagai pahlawan, mereka justru dicap sebagai
“makhluk tak tahu diri”.
Namun, bak makan buah simalakama, apabila pemerintah mengabulkan
tuntunan mereka, maka tidak akan ada lagi sawah yang tergarap, nelayan
pun enggan pergi melaut, bahkan putus sekolah menjadi pilihan yang
menguntungkan. Tidak hanya tercerabut dari akar budayanya, rakyat
Indonesia juga akan tumbuh sebagai masyarakat pragmatis. Buat apa
sekolah, jika lulus SD saja sudah bisa hidup layak? Lebih baik menjual
sawah dan kapal kami, wong Pemerintah sudah bermain mata dengan para
importir. Jadi, persoalan ini bagaikan benang kusut yang sulit menemukan
ujung pangkalnya.
Bila kita menilik fenomena ini secara filosofis, maka hal terpenting
adalah mendiagnosa akar permasalahannya. Demo buruh hanya ekses,
sementara substansi dari kekacauan yang menimpa negeri ini adalah
ketakberdayaan terhadap gempuran kapitalisme. Gurita “–isme” ini telah
menjajah Indonesia tanpa tedeng aling-aling, yang pada akhirnya
berdampak pada liberalisasi ekonomi. Padahal, Indonesia dibangun dengan
sistem ekonomi kerakyatan oleh para The Founding Fathers. Namun, kini
rakyat Indonesia telah melupakan sejarah. Injeksi asing disambut dengan
tangan terbuka oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia, sadar ataupun tak
sadar. Seandainya saja Indonesia tetap konsisten menjalankan nilai
“Keadilan” yang termaktub pada Pancasila dan UUD 1945, maka kita tidak
akan menjadi topeng monyet yang menari di bawah benderang asing. Duhai
bangsa Indonesia, bangkitlah dari tidur panjangmu!
Sumber : kompasiana.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment