Sebut saja Freeport Indonesia yang menginduk pada Freeport McMoran di Amerika Serikat. Freeport Indonesia sudah menjalankan aktivitas di tambang emas Garsberg, Papua sejak 1967. Freeport adalah satu dari sekian banyak perusahaan raksasa asal negeri paman sam yang betah menjalankan aktivitas bisnisnya di Indonesia selama bertahun-tahun. Tidak hanya Freeport, masih banyak dan bahkan semakin banyak perusahaan berbendera AS yang memperpanjang kontrak dan investasinya di Tanah Air.
Kemarin, pebisnis-pebisnis kelas kakap itu menggelar pertemuan tertutup dengan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi. Intinya satu, mereka menyatakan keinginannya untuk bisa tinggal lebih lama di Indonesia. Dengan kata lain, mereka berniat menambah investasi bisnisnya di dalam negeri.
"Jadi lebih banyak mereka berbicara prospek, lebih berbicara arah, kemudian investasinya akan diterjemahkan masing-masing perusahaan, ini kan sifatnya general, ada CP, HP, PG, Visa, Boeing," ujar Bayu di Gedung Kementerian Perdagangan Jakarta, Rabu (13/11).
Bayu menceritakan, bos Chevron, Freeport, Coca Cola dan perusahaan AS lainnya, masih bersemangat mengembangkan usaha dan bisnisnya di Indonesia. Mereka membangga-banggakan Indonesia dengan mengatakan, Indonesia bisa menjadi basis produksi untuk produk-produk mereka yang dipasarkan di pelbagai negara ASEAN lainnya.
"Semuanya sifatnya general, membuat kesepahaman arah bisnis di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan," jelasnya.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk dalam radar investor asing di saat kondisi perekonomian negara maju masih diliputi ketidakpastian. Realisasi penanaman modal asing (PMA) terus meningkat dalam dua tahun terakhir.
Tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia menjadi salah satu faktor yang mengundang daya tarik investor asing. Ditambah, besarnya pasar Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Upah buruh yang jauh lebih murah dibanding negara lain, termasuk salah satu pertimbangan bagi investor. Jadi wajar jika banyak perusahaan asing, termasuk perusahaan asal AS yang betah tinggal di Indonesia dan meraup untung dari bisnisnya di tanah air.
Merdeka.com mencoba merangkum beberapa perusahaan AS kelas kakap yang menjadikan Indonesia mesin pencetak uang bagi bisnisnya.
1. Freeport Indonesia
Keberadaan dan operasional Freeport Indonesia
sejak 1967 hingga kini tak ubahnya mesin pencetak uang bagi perusahaan
induknya, yakni Freeport McMoran di Amerika Serikat. Untuk melihat
pundi-pundi keuntungan Freeport tidak perlu melihat jauh ke belakang.
Tengok saja kinerja perusahaan sepanjang tahun lalu. Freeport Indonesia telah menjual 915.000 ons atau setara 28,6 ton emas dan 716 juta pon (358.000 ton) tembaga dari tambang Grasberg di Papua. Hasil penjualan emas itu menyumbang 91 persen penjualan emas perusahaan induknya.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran, total penjualan emas Freeport sebanyak 1,01 juta ons (31,6 ton) emas dan 3,6 miliar pon ( 1,8 juta ton) tembaga. Penjualan tembaga asal Indonesia menyumbang seperlima penjualan komoditas sejenis bagi perusahaan induknya.
Tengok saja kinerja perusahaan sepanjang tahun lalu. Freeport Indonesia telah menjual 915.000 ons atau setara 28,6 ton emas dan 716 juta pon (358.000 ton) tembaga dari tambang Grasberg di Papua. Hasil penjualan emas itu menyumbang 91 persen penjualan emas perusahaan induknya.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran, total penjualan emas Freeport sebanyak 1,01 juta ons (31,6 ton) emas dan 3,6 miliar pon ( 1,8 juta ton) tembaga. Penjualan tembaga asal Indonesia menyumbang seperlima penjualan komoditas sejenis bagi perusahaan induknya.
2. Newmont
Tidak hanya Freeport Indonesia, Newmont Nusa
Tenggara juga meraup untung besar dari keberadaannya di Indonesia.
Kontrak Karya Newmont di tambang Batu Hijau dan Elang NTT, berlaku
hingga 2030. Artinya, untuk jangka waktu yang sangat panjang, perusahaan
asal AS ini bakal menjalankan aktivitas tambangnya di Indonesia.
Meski sudah lama beroperasi dan meraup untung dari bisnis pertambangan di tanah air, Newmont hanya memberi sedikit kontribusi pada pemerintah Indonesia. Kontribusinya dari royalti hanya 1 persen dari keuntungan perusahaan.
Selama ini, kinerja Newmont cukup kinclong dengan produksi tembaga yang sangat besar. Namun akhir-akhir ini kinerjanya sedikit meredup.
Meski sudah lama beroperasi dan meraup untung dari bisnis pertambangan di tanah air, Newmont hanya memberi sedikit kontribusi pada pemerintah Indonesia. Kontribusinya dari royalti hanya 1 persen dari keuntungan perusahaan.
Selama ini, kinerja Newmont cukup kinclong dengan produksi tembaga yang sangat besar. Namun akhir-akhir ini kinerjanya sedikit meredup.
3. Coca Cola
Siapa yang tidak kenal produk minuman Coca Cola?
Produk minuman soda ini sudah melekat di hati masyarakat Indonesia.
Berkat tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia dan besarnya
pasar dalam negeri, Coca Cola meraup untung yang cukup besar.
Sepanjang tahun lalu, PT Coca-Cola Amatil Indonesia, mencetak laba sebesar USD 459,9 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun. Laba Coca Cola tahun lalu naik 16,8 persen dibanding 2011.
Tahun lalu, pendapatan perdagangan Coca-Cola Indonesia mencapai USD 5,09 miliar atau sekitar Rp 49,6 triliun. Naik 10,3 persen dibanding pada 2011. Kenaikan penjualan tahun lalu tidak lepas dari tingginya permintaan pasar dalam negeri.
Sepanjang tahun lalu, PT Coca-Cola Amatil Indonesia, mencetak laba sebesar USD 459,9 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun. Laba Coca Cola tahun lalu naik 16,8 persen dibanding 2011.
Tahun lalu, pendapatan perdagangan Coca-Cola Indonesia mencapai USD 5,09 miliar atau sekitar Rp 49,6 triliun. Naik 10,3 persen dibanding pada 2011. Kenaikan penjualan tahun lalu tidak lepas dari tingginya permintaan pasar dalam negeri.
4. Chevron
Di sektor minyak, pertambangan dan energi,
Chevron Corp sudah tidak asing lagi. Di Indonesia, Chevron juga
mengelola sejumlah ladang minyak dan gas melalui PT Chevron Pacific
Indonesia. Perusahaan yang menginduk ke Amerika Serikat ini menjadi
penguasa produksi migas di Indonesia.
Sebagian besar usaha kegiatan hulu migas dikuasai Chevron. Perusahaan berbendera AS ini menguasai 47 persen produksi migas nasional. Sebesar 37 persennya dikuasai swasta dan asing lainnya.
Chevron Pacific Indonesia yang mengelola blok Duri di Riau menjadi peringkat pertama dalam menghabiskan dana operasional senilai USD 3,113 miliar.
Chevron saat ini memproduksi minyak terbanyak di seluruh Indonesia yaitu dengan produksi sekitar 350.000 barel per hari. Dengan begitu, biaya produksi minyak minas sebesar USD 24,65 per barel.
Sumber : merdeka.com
Sebagian besar usaha kegiatan hulu migas dikuasai Chevron. Perusahaan berbendera AS ini menguasai 47 persen produksi migas nasional. Sebesar 37 persennya dikuasai swasta dan asing lainnya.
Chevron Pacific Indonesia yang mengelola blok Duri di Riau menjadi peringkat pertama dalam menghabiskan dana operasional senilai USD 3,113 miliar.
Chevron saat ini memproduksi minyak terbanyak di seluruh Indonesia yaitu dengan produksi sekitar 350.000 barel per hari. Dengan begitu, biaya produksi minyak minas sebesar USD 24,65 per barel.
5. ExxonMobil
Di Indonesia, Exxon Mobil mengambil warisan blok
milik Royal Dutch Shell di Cepu, Jawa Tengah. Pada Februari 2001, anak
usaha ExxonMobil, Mobil Cepu Ltd bersama dengan Pertamina menemukan
sumber minyak mentah sebesar 1,4 miliar barel dan gas mencapai 8,14
miliar kaki kubik di lapangan Banyu Urip ini.
Exxon menandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) migas dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Lapangan tersebut diprediksi dapat menggantikan produksi minyak di blok Siak yang semakin lama semakin menurun akibat sumur yang sudah tua. Nantinya, saat produksi puncak, lapangan ini diperkirakan dapat memproduksi 165.000 barel minyak per hari. Saat ini Exxon baru bisa memproduksi minyak sekitar 20.000 barel per hari.
Exxon telah memulai bisnis di sektor gas di daerah Nangroe Aceh Darusalam bekerjasama dengan Pertamina. Selain memproduksi gas, Exxon juga berperan dalam produksi LNG di kilang gas pertama Indonesia di Arun di pantai timur Sumatera.
Exxon menandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) migas dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Lapangan tersebut diprediksi dapat menggantikan produksi minyak di blok Siak yang semakin lama semakin menurun akibat sumur yang sudah tua. Nantinya, saat produksi puncak, lapangan ini diperkirakan dapat memproduksi 165.000 barel minyak per hari. Saat ini Exxon baru bisa memproduksi minyak sekitar 20.000 barel per hari.
Exxon telah memulai bisnis di sektor gas di daerah Nangroe Aceh Darusalam bekerjasama dengan Pertamina. Selain memproduksi gas, Exxon juga berperan dalam produksi LNG di kilang gas pertama Indonesia di Arun di pantai timur Sumatera.
Sumber : merdeka.com
No comments:
Post a Comment