Berlakunya Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tanggal 19 Nopember 2012
lalu tidak dengan serta merta menjamin hak-hak buruh dan kepastian
kerja bagi buruh outsourcing. Dalam pelaksanaannya, hak-hak buruh dan
kepastian kerja buruh outsourcing masih belum pasti.
Ketidakpastian ini terkait dengan isi regulasi di Permenakertrans No.
19 Tahun 2012 serta Surat Edaran Menakertrans No. 4 tahun 2013 itu
sendiri, dan kesiapan serta political will aparat ketenagakerjaan
khususnya pengawas ketenagakerjaan. Demikian penilaian Sekjen Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar dalam siaran pers
OPSI, Jumat (22/12) sore ini.
"Kepastian jaminan buruh outsourcing belum pasti karena
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 serta Surat Edaran Menakertrans No. 4
tahun 2013 tersebut tidak memberi kepastian sanksi bagi perusahaan
pengguna/perusahaan pemberi pekerjaan (atau user) yang melanggar
ketentuan tersebut. Sanksi hanya diberikan kepada perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh atau penyedia pemborongan (agent outsourcing), tidak
kepada perusahaan pengguna/perusahaan pemberi pekerjaan (atau user).
Kalau sanksi hanya diberikan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh atau penyedia pemborongan (agent outsourcing) maka
pelanggaran akan berpotensi terus terjadi karena perusahaan
pengguna/perusahaan pemberi pekerjaan (atau user) tidak mempunyai
beban," kata Timboel.
Menurut dia, sanksi kepada perusahaan pengguna/perusahaan pemberi
pekerjaan (atau user) harus diberikan supaya perusahaan
pengguna/perusahaan pemberi pekerjaan (atau user) lebih berhati-hati
dan selektif dalam menggunakan perusahaan outsourcing.
Mengenai ancaman Menakertrans kepada perusahaan yang melanggar
Permenakertrans No. 19/2012 adalah hanya sebuah ancaman semata yang
sulit direalisasikan penegakkan hukumnya, mengingat hubungan pengawasan
ketenagakerjaan antara pusat dan daerah sudah terputus secara komando,
dan hanya ada sebatas koordinasi dan secara administratif. Kepentingan
daerah kabupaten/kota atau propinsi yang ingin menggenjot pendapatan
asli daerah berpotensi terjadinya pembiaran atas pelanggaran-pelanggaran
system kerja outsourcing tersebut.
Selain itu Permenakertrans No. 19 tahun 2012 dan SE No. 4 tahun 2013
tersebut juga akan menjadi “mainan” baru para pengawas ketenagakerjaan
untuk melakukan tindakan korupsi dengan menekan pengusaha user ataupun
perusahaan outsourcing.
"Disisi lain Menakertrans dan jajaran Kemenekrtrans di pusat akan
menjadi pasif saja karena yang melaksanakan pengawasan adalah pengawas
daerah. Sebaiknya Menakertrans bisa merevisi Permenakertrans No. 19
tersebut dengan lebih menekankan pada adanya sanksi bagi perusahaan
pengguna/perusahaan pemberi pekerjaan (atau *user*) dan peran
pengawasan pusat yang lebih maksimal, tidak hanya menunggu dari
pengawasan daerah," pungkas dia.
Sumber : suaramerdeka.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment