Ketika
perusahaan tempat saya bekerja mengalami kemunduran dan mulai bekerja
sama dengan perusahaan luar negeri (Uni Emirat Arab), maka ketika itu
pula terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan itu ditandai dengan
rasa stres yang dialami baik oleh karyawan ekspatriat pemberi pekerjaan
maupun karyawan lokal pelaksana pekerjaannya.
Enam
tahun kemudian, sekarang, di perusahaan yang sama yang sudah dikuasai
oleh perusahaan asing lainnya (Jepang) itu masih terlihat beberapa
karyawan ekspatriat dan lokal yang sama-sama stres. Beberapa karyawan
senior yang sudah tidak tahan mengajukan pengunduran diri, resign.
Sudah tentu pengunduran diri yang sangat merugikan kedua belah pihak,
karyawan tidak mendapatkan pesangon meski sudah bekerja puluhan tahun
dan perusahaan kehilangan karyawan pengalaman. Boleh jadi karyawan yang resign itu berprinsip rejeki pemberian Tuhan, dimana saja bisa mencarinya.
Perusahaan Jepang itu ingin berinvestasi di Indonesia dengan membeli (saham mayoritas) perusahaan lokal. Mereka hanya ingin mengontrol dan mengendalikan saja dari negaranya dan menyerahkan pengelolaan kepada orang lokal. Namun, mereka masih belum yakin melepaskan pengelolaan itu, karena kinerja para karyawan lokal dianggap berpotensi menyebabkan kerugian. Dikirimlah para ekspatriat dari negaranya untuk memperbaiki kinerja itu.
Dua
hal utama yang ingin diperbaiki adalah prosedur/dokumen penunjang kerja
dan kebiasaan/habit karyawan. Prosedur kerja perusahaan dianggap masih
kurang lengkap, sehingga kualitas yang dihasilkan belum sesuai dengan
standar perusahaan asing itu. Mereka mulai memperkenalkan beberapa
prosedur kerjanya (transfer teknologi yang menguntungkan).
Kebiasaan
karyawan lokal yang cenderung buruk, yang dilakukan berulang-ulang dan
sulit diubah atau diperbaiki, membuat para ekspatriat senewen, marah dan
stres. Kebiasan buruk itu yaitu:
- sering datang terlambat ke tempat kerja
- absen tanpa memberitahu sebelum atau sesudahnya, utamanya berkaitan dengan status pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya
- malas, ogah-ogahan, demotivasi, asal-asalan dalam bekerja
- kurang mengetahui atau memperhatikan skop pekerjaannya (scope of work)
- sok tahu, dalam proses pengerjaan hanya berdasar pada pengalaman kerja, mengabaikan atau enggan mempelajari standar, spesifikasi dan prosedur kerja yang baru atau sedang dipakai
- tak mau tahu, tak ada inisiatif bertanya ke pihak lainnya jika mendapatkan ketidak-jelasan, cenderung diam dan mengandalkan atasannya saja
- kurang teliti, lupa mengecek ulang hasil pekerjaan, sehingga banyak terjadi kesalahan yang tak perlu dan mendasar
- pemalu dan kurang berani menanyakan hal yang belum atau tidak jelas, utamanya kepada ekspatriat
- kurang rasa memiliki (sense of belonging)
- kerjasama tim (teamwork) yang kurang baik, asyik dengan pekerjaan sendiri, kurang melihat kaitan/pengaruh dengan pekerjaan orang lain
- keasyikan dengan gadget (HP, Ipad, Laptop, dll) untuk urusan pribadi saat jam kerja, lebih banyak ‘bermain’ untuk menghibur diri ketimbang ‘belajar’ untuk meningkatkan pengetahuan/ketrampilan
- jiwa kepemimpinan (leadership) yang kurang
- kurang disiplin dan bertanggung jawab dalam (waktu) bekerja
Selain kebiasaan buruk itu, juga kemampuan pengetahuan teknik dan skill yang
masih kurang, dan komunikasi yang sering kurang nyambung karena kendala
bahasa (Inggris). Hal yang sudah umum menjadi agenda/program training
perusahaan dimana pun untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan itu.
Beberapa
karyawan yang terindikasi mempunyai kebiasaan buruk seperti di atas
sudah tentu mendapat teguran dari atasannya. Namun, karena sulit
mengubah, maka ada yang lebih suka memilih resign, mencari perusahaan lain yang ‘toleran’, utamanya bagi karyawan outsourcing setelah masa kontrak kerjanya berakhir. Beberapa karyawan yang memilih resign ini merasa yakin masih banyak lowongan kerja dari perusahaan yang sejenis.
Banyak
pula karyawan yang mulai sadar untuk berubah, meski dirasa sulit. Makin
menyadari bahwa untuk lebih profesional memang harus memperbaiki diri
dari kebiasaan buruk itu. Banyak yang datang terlambat dengan alasan
kemacetan lalu lintas jalan di Jakarta, termasuk saya. Rasanya malu dan
terlihat bego (kurang akal) jika terus menerus beralasan dengan hal yang
sama. Mensiasati kemacetan itu, yang bisa dilakukan adalah dengan
datang lebih pagi lagi, teman lainnya dengan menjadi anggota roker,
rombongan kereta, dsb.
Kebiasaan
baru yang dilakukan setiap pagi hari, tepat pada jam kerja dimulai
adalah pembacaan semacam deklarasi/pernyataan, yang diikuti oleh semua
karyawan di bagian/departemen masing-masing. Di bagian engineering/perencanaan dibaca “6 Basic Manners in Corporate” dan “10 Basic Actions by Engineer in Corporate” (sengaja nama perusahaan saya ganti dengan ‘corporate‘).
Saya jadi teringat cerita ayah saya tentang kebiasaan di jaman Jepang
yang para pegawainya rutin tiap pagi melakukan upacara tertentu sebelum
memulai pekerjaan.
Pernyataan asertif itu memang positif, misalnya “6 Basic Manners in Corporate”
berisi 6 sikap dasar, yaitu komitmen untuk: tepat waktu menjaga jadwal,
meningkatkan komunikasi, menyiapkan laporan/munutes of meeting,
mengoptimasi EPC (Engineering, Procurement & Connstruction), patuh terhadap standar dan prosedur, dan tidak meninggalkan hal-hal yang tak jelas.
Sedangkan “10 Basic Actions by Engineers in Corporate”
berisi sepuluh tindakan dasar para karyawan engineering, yaitu
berkenaan dengan: jadwal, kualitas, komunikasi, optimasi menyeluruh,
spesifikasi, basis design, kerjasama tim, klien, vendor, dan terlibat dalam keseluruhan proyek.
Pernyataan
itu salah satu solusi masalah yang menjadi perhatian para ekspatriat,
yaitu mengeliminir kebiasaan buruk karyawan lokal. Dengan dibacakannya
pernyataan itu berulang-ulang setiap hari oleh para karyawan secara
bergiliran dan diikuti oleh semua karyawan, maka diharapkan pesannya
bisa merasuk ke alam bawah sadar dan mempengaruhi tindakan karyawan
selanjutnya.
Tampak
karyawan mulai memperbaiki diri, berusaha meninggalkan kebiasaan buruk
semampunya. Terlihat pula wajah cerah beberapa karyawan ekspatriat, yang
sepertinya sudah mulai merasakan hasil dari kerja keras mensupervisi
selama ini. Ops, beberapa ekspatriat itu juga sudah mulai santai dan
sering berlama-lama saat istirahat merokok. Hmm… jangan-jangan mereka
malah yang ganti ketularan kebiasaan buruk karyawan Indonesia ya?!
(Depok, 18 November 2013).
Sumber : kompasiana.com
No comments:
Post a Comment