Ikhsan Mojo, Pengamat Politik, mengatakan permasalahan upah buruh sudah
menjadi komoditas politik oleh pemerintah. Ikhsan mengatakan kenaikan
upah buruh dari tahun ke tahun pergerakannya sangat dipengaruhi
Pemilukada.
"Apalagi dengan otonomi daerah biasanya jelas
banget keliatan. Ada pergerakan dari tingkat UMP menurut saya nggak
random mengikuti pergerakan pemilukada dan pileg," kata Ikshan dalam
diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (2/11/2013).
Ikhsan
pun mencontohkan upah minim provinsi (UMP) yang dinaikkan pada tahun
2013 saat Joko Widodo dan Basuki T Purnama menjadi gubernur dan wakil
gubernur.
Tahun 2005-2012, kata Ikhsan, kenaikan upah sangat
random. Tahun 2005 kenaikan upah 6 persen, 2007 9,9 persen dan 2012 naik
18,35 persen dan tahun 2013 naik 4,88 persen.
"2014 dipaksakan
naik 3,7 juta atau 68 persen. Kemarin gubernur dan wakil gubernur
menaikkan hanya 2,4 juta. Jelas sekali ada namanya politisasi kebikakan
upah. Jadi kadang-kadang ini yang pertama yang tidak disukai investor
pengusaha dan bukan sewenang-sewenanh permaslaahan dilemparkan ke buruh.
Memang negara termasuk pemerintah daerah punya kontribusi di sana,"
ungkap Ikhsan.
Menurut Ikhsan, kebijakan yang dilakukan pemerintah
provinsid DKI Jakarta pada tahun 2012 yang mengikuti kemauan buruh
menaikkan upah hampir 50 persen ternyata keliru. Akibat kebijakan
tersebut, banyak perusahaan di Jakarta yang hengkang ke daerah lain atau
ke luar negeri.
Ikhsan menambahkan, selain permasalahan
politisasi, pengupahan buruh juga perlu kepastian dan stabilitas. Ikhsan
menguitp Inpres 9 Tahun 2013 dimana pengupahan tidak boleh lebih 10
persen dari inflasi.
"Ada 6 persen inflasi, (gaji buruh) naik 16
persen oke wajar. Kalau 9 persen inflasi (gaji buruh) naik 68 persen
agak jomplang juga.
Silahkan elaborasi inpres nomor 9 tahun 2013 diterapkan," tegasnya.
Sumber : tribunnews.com
No comments:
Post a Comment