Demo di jalanan jantung kota Jakarta era reformasi mirip menu
sehari-hari ibu kota. Kemarin, ada yang pawai di jalan, lusa ada demo
iring-iringan kendaraan bermotor. Hari ini, ada demo protes keras
skandal penyadapan yang meluber di di jalanan depan kantor Keduabes
Australia, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/13).
Memang, ruh demo di ibu kota biasanya beragam. Daftar demo di Polda
Metro Jaya mencatat demo selama 2013 terbanyak diduduki demo buruh.
Ironisnya, rata-rata demo turun jalan di ibukota tidak cuma merepotkan
pengendara kendaraan roda empat maupun roda dua. Kemacetan di
mana-mana.
Bila realitas seperti itu, warga Jakarta pengguna jalan hanya bisa
mengelus dada, atau tidak jarang yang ngedumel. Cuma, siapa yang harus
dikambinghitamkan? Demo turun jalan bukan cuma membuat kemacetan
Jakarta tambah parah. Tapi, roda prokduktifitas bisnis Jakarta
terganggu. Kerugian material dan imaterial tak terprediksi, pasti.
Tragis lagi, prilaku ingkar janji baik itu –khususnya janji bertemu
kaitan bisnis– pelan tapi pasti seolah jadi budaya.
Haruskah ada
jalur khusus demo seperti jalur busway? Haruskah ada ruang demo di ibu
kota Jakarta? Atau, haruskah ada muara aspirasi yang tidak merampas
hak-hak hajat hidup warga Jakarta yang tidak ikut berdemo? Agaknya,
sebuah dilema keniscayaan. Mencenungkan, menelisik kemacetan total
cukup panjang lebih satu jam yang terjadi sepanjang arus jalan berkait
Jl. HR Rasuna Said, akibat demo di depan Gedung Kedubes Australia.
Sumber : lensaindonesia.com
No comments:
Post a Comment