Di saat buruh sedang sibuk berjuang
menuntut upah lebih tinggi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk pasal 59 ayat (7), pasal 65 ayat (8) dan
pasal 66 ayat (4), Kamis (28/11).
Dilansir dari Bisnis.com
(28/11/2013), perwakilan Apindo, Sofjan Wanandi dan Suryadi Sasmita
mendatangi MK dengan membawa gugatan yang memohon agar MK menguji dan
menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat, karena serba multi tafsir.
Melalui kuasa hukumnya Dra Endang Susilowati SH MH dan Ibrahim
Sumantri SH MKn, Apindo menilai pasal 59 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan
tidak mengandung tafsiran yang pasti sehingga dalam implementasinya menjadi
multi tafsir.
Dalam permohonannya, Apindo selaku pemohon menilai pendapat
MK dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa pelanggaran
pasal 59 bukan persoalan konstitusionalitas, tapi persoalan implementasi saja.
Untuk pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan, pemohon
menganggap tidak jelas dalam implementasinya karena adanya multi tafsir
mengenai jenis pekerjaan. Pemohon menilai Pasal 66 ayat (4)juga bersifat multi tafsir mengenai jenis pekerjaan
yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan dan lembaga yang berwenang
untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya aturan UU tersebut.
Apindo Ingin Sanksi Dihapus
Pasal 59 ayat (7) berbunyi: “Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagai yang dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.”
Menurut pasal 59, pekerjaan dengan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTT) atau lebih dikenal dengan kerja kontrak bisa
diberlakukan untuk pekerjaan yang masa kerjanya tidak lebih dari tiga tahun,
pekerjaan musiman, dan produk baru. Perjanjikan kerja waktu tertentu (PKWT)
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan bersifat tetap, bisa diperpanjang paling
lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang untuk jangka waktu paling lama satu
tahun, serta syarat-syarat lainnya.
Jika syarat-syarat tersebut dilanggar, maka demi hukum,
status pekerja berubah menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (PKWTT). Artinya, jika Pasal 59 ayat (7) dihapuskan, maka tidak ada
sanksi bagi pelanggaran penempatan buruh kontrak.
Begitupun Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) mengatur
tentang sanksi pelanggaran penempatan outsourcing yang mana buruh outsourcing
tidak boleh dipekerjakan di inti produksi dan syarat-syarat lainnya.
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.” (Pasal 65 ayat (8)
“Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.” (Pasal 66 ayat (4)
Apindo menginginkan pasal-pasal sanksi pelanggaran penempatan
buruh kontrak dan outsourcing terkutip di atas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga
tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk mematuhinya.
Jadi jelas sekali, Apindo sebenarnya ingin menghapuskan
sanksi administratif bagi pelanggaran penempatan buruh kontrak dan
outsourcing
sehingga pengusaha lebih bebas menggunakan buruh kontrak dan
outsourcing. Buruh yang dikontrak berkepanjangan tidak lagi diharuskan
oleh Undang-Undang untuk menjadi buruh permanen (PKWTT).
Posisi tawar buruh menjadi semakin lemah di dalam
Undang-Undang (normatif). Dan akhirnya, Indonesia menjadi surga yang lebih indah bagi pengusaha,
dan dunia yang lebih menyakitkan bagi buruh.
Sumber : solidaritas.net
No comments:
Post a Comment