Maraknya kasus premanisme
terhadap buruh ternyata bukan hanya terjadi di Bekasi. Pola ini juga terjadi di kota lainnya, seperti Jakarta.
Sekelompok preman mengatasnamakan Masyarakat Anti Unjuk Rasa
berupaya menghadang mogok daerah buruh, Kamis (28/11) lalu. Para preman ini
telah bersiaga sejak dini hari dengan membawa alat pemukul di sejumlah titik
unjuk rasa buruh.
“Mereka termasuk menebar spanduk, provokasi-provokasi.
Hampir sama modusnya seperti di Bekasi. 30 orang ada di depan pintu 1 kawasan
Pulo Gadung. Ada juga kawan-kawan berkumpul di depan AOB Pemuda Pancasila di
Pegansaan Dua. Sudah kita cek, sekitar jam 2 pagi. Mereka membenturin juga,
sudah nyiapin balok-balok kayu, plat-plat besi,” ujar Ketua Forum Buruh DKI
Jakarta Muhammad Toha dilansir dari KBR68H.
Saat itu, buruh berupaya menolak upah minimum 2014 sebesar
Rp 2,4 juta. Mereka menuntut kepada Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo agar
mencabut Surat Keputusan Gubernur yang mengesahkan upah murah tersebut. Mereka juga
meminta upah minimum Jakarta sebesar Rp 3 jutaan.
Pembiaran
Preman berkedok ormas ini terkesan dibiarkan. Dilihat dari
namanya “Masyarakat Anti Unjuk Rasa” sudah jelas sekali bertentangan dengan
aturan hukum yang menjamin hak warga negara untuk melakukan unjuk rasa. Hak berunjuk
rasa diatur di UU yang paling mendasar, pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun
1998 tentang Unjuk Rasa.
Kepolisian juga melakukan pembiaran terhadap anggota ormas
yang membawa senjata. Di Kabupaten Bekasi, misalnya, massa ormas berkeliaran
dengan membawa senjata tumpul maupun tajam pada 31 Oktober 2013. Tapi tidak ada
satupun aksi sweeping senjata yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Akibatnya,
puluhan buruh terluka karena dianiaya oleh anggota ormas.
Di hari kedua mogok nasional, 1 November 2013, buruh
berupaya berjaga-jaga dengan membawa senjata tumpul. Polisi langsung sigap
untuk mengamankan dan melakukan sweeping. Media massa juga sigap meliput
peristiwa tersebut.
Sudah bukan rahasia lagi, jika ormas tersebut ada yang
menggerakkan. Salah satu perusahaan elektronik terbesar di kawasan MM2100,
mempekerjakan 50 orang anggota ormas untuk berjaga-jaga di depan perusahaan. Sumber
anonim Solidaritas.net menyebutkan mereka dibayar Rp 500 ribu per hari, atau Rp
1 juta per orang selama dua hari, belum termasuk uang konsumsi dan rokok.
Jasa keamanan tidak resmi ini laris manis dan dibiarkan saja
oleh polisi, bahkan mendapatkan restu dari pejabat setempat. Jika anggota ormas
ini sudah melakukan aksi kekerasan terhadap buruh, maka kasus tersebut disebut
kasus kriminal. Berbeda jika kepolisian atau TNI yang melakukan represi, maka ranah
kejahatannya masuk ke pelanggaran HAM.
Sumber : solidaritas.net
No comments:
Post a Comment