Paska penetapan upah minimum kabupaten (UMK) 2014 sebesar Rp
1.150.000, persoalan besar yang mengemuka yakni apakah hal tersebut akan
dapat dilaksanakan dengan baik setahun mendatang. Selanjutnya, muncul
pula pertanyaan mengenai keberanian menjatuhkan sanksi kepada pihak yang
melanggar ketentuan itu.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten
Kudus, Wiyono, menyatakan soal pengawasan, monitoring dan kegiatan
sejenis diharapkan tidak hanya menjadi sebuah kebiasaan belaka.
Instrumen tersebut diupayakan dapat digunakan untuk''memaksa'' semua
pihak mematuhi aturan main yang ada.
''Selama ini kami masih menilai belum maksimal,'' katanya.
Bila instrumen pengawasan lemah, dipastikan penegakan aturan juga
tidak akan maksimal. Butuh lebih dari sekedar komitmen dari pihak
terkait untuk dapat mewujudkan hal itu. Secara khusus, dia cukup
mengkhawatirkan minimnya penyidik pegawai negeri sipil yang dimiliki
Dinsosnakertrans. Logikanya, jika pegawai dengan kewenangan untuk
menyidik sangat minim dan bahkan tidak ada, bila terjadi pelanggaran
tidak akan dapat dilakukan pemberkasan.
''Untuk dapat memproses lebih lanjut jelas tidak mungkin,'' paparnya.
Pidana
Beberapa waktu yang lalu, terdapat perusahaan yang dipidanakan karena
melanggar ketentuan UMK. Walaupun mungkin belum dapat seekstrim seperti
itu, paling tidak dapat menyemangati pengawasan pembayaran upah buruh
pada masa mendatang.
''Yang jelas, pengawasan harus dapat dimaksimalkan,'' tandasnya.
Terpisah, Kadinsosnakertrans, Budi Rahmat menjanjikan pengawasan
tetap akan dilakukan. Hanya saja, segala sesuatunya tetap harus
mendasarkan kenyataan dan fakta yang ada di lapangan. Secara umum, dia
menilai tingkat kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan pembayaran upah
cukup baik. Namun begitu, dia juga menyadari masih ada perusahaan yang
mungkin kesulitan dapat membayar upah sesuai ketentuan yang ada.
''Pantauan pelaksanaan UMK tetap akan kami optimalkan,'' jelasnya.
Sumber : suaramerdeka.com
No comments:
Post a Comment