Thursday, November 28, 2013

HIPMI merisaukan dampak demo buruh dan kenaikan UMK

Demo buruh dan tuntutan kenaikan UMK 2014 beberapa waktu lalu juga merisaukan para pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan menilainya sebagai sesuatu yang tidak rasional dan tidak wajar
Ahmad Adisuryo, yang akrab dipanggil Opid, seorang pengusaha muda yang bergerak di bidang jasa kelistrikan dan salah seorang pengurus BPD HIPMI Jawa Timur mengatakan bahwa demo buruh yang setiap tahun selalu terjadi ini juga disebabkan karena biasnya cara pemerintah dalam menetapkan UMK setiap tahun yang semakin lama semakin menjadi ajang tawar menawar, tarik ulur dan tidak relevan dengan semangat kemajuan bersama.
Dari data yang didapatkan dari Kementrian Perindustrian , dalam kurun waktu 2000- 2012 rata-rata UMK Nasional naik 12,8% setiap tahunnya. Dengan inflasi rata-rata 7,8% per tahun. Namun sebaliknya hal ini diikuti dengan produktivitas yg sedemikian rendah,yakni 3,4% per tahun.
Untuk jatim, khususnya surabaya,sidoarjo,gresik  UMK rata-rata 2012 sebesar Rp.1,2 juta , menjad1 rata-rata Rp. 1,7 jutaan di tahun 2013 dan 2014 mencapai Rp. 2,2 jt an. Sehingga kenaikan dibanding UMK 2012 (hanya berselang 2th yg lalu) sebesar 75%!, tandas Opid
Hal ini sudah tidak rasional dan tidak wajar. Apalagi ditengah kondisi persaingan usaha yg semakin ketat dan menghadapi era persaingan dan pasar bebas Asean 2015
Semangat evaluasi UMI setiap tahun adalah menyesuaikan daya beli buruh terhadap kenaikan barang akibat inflasi… Bukan semangat tanpa usaha/ kenaikan produktifitas tapi gaji minta naik…itu namanya upaya pembodohan, ujarnya lagi.
Opid melanjutkan, kami para pengusaha sebenarnya menyadari bahwa Pengusaha dan buruh memiliki kebutuhan yg sama.  Sama-sama ingin hidup layak .
Menurutnya sebaiknya dibuat kepastian kenaikan minimal 5 tahun ke depan dg perkiraan berdasarkan data historis yg dimiliki. Sehingga pengusaha maupun buruh bisa sama-sama mengantisipasi dan lebih jauh tidak merusak iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga  bukan kebijakan kaget-kagetan setiap tahun dan pemerintah memutuskannya  dalam tekanan.
Memang keputusan mengenai UMK seharusnya lebih merupakan keputusan bisnis dan ekonomi daripada sebuah keputusan politis, meski tidak mungkin juga untuk mengabaikan faktor politis dalam pelaksanaannya. Dan di sisi lain pemerintah juga harus berupaya keras untuk menurunkan biaya ekonomi tinggi yang timbul akibat ketidakjelasan regulasi, praktek pungli dan korupsi yang amat membebani dunia usaha.



Sumber : fren247.com

No comments:

Post a Comment