Thursday, November 28, 2013

Berikan Jaminan Pada Pekerja, Rieke Minta Peraturan Hapus "Outsourching" Segera DIterbitkan

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka mendesak pemerintah membuat peraturan baru untuk menghapus sistem kerja outsourcing atau alih daya yang banyak merugikan kaum pekerja.
Saat ini dalam perkembangannya di sektor BUMN dan swasta, terdeteksi banyaknya pelanggaran terkait tenaga kerja outsourcing yang terstruktur, massif, dan sistematis. Ribuan pekerja outsourcing menjadi korban pemutusan hubungan kerja dan pelanggaran normatif.
Peraturan yang ada selama ini memang cukup memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja outsourcing namun penegakan hukumnya lemah dan diperparah dengan buruknya pengawasan pemerintah. Hal itu menyebabkan nasib pekerja outsourcing belum ada perubahan dan perbaikan nasib yang lebih adil serta baik.

“Karenanya segera terbitkan peraturan baru yang substansinya menghapus outsourcing tenaga kerja yang bertentangan dengan undang-undang,” kata Rieke.
Ia juga meminta pencabutan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekrjaan Kepada Perusahaan Lain, serta pencabutan Surat Edaran Menakertrans 04/VIII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans nomor 19 tahun 2012 karena menimbulkan multitafsir yang mengarah kepada pelanggaran UU Ketenagakerjaan.
Selanjutnya perlu merealisasikan pembentukan Satgas Outsourcing yang terdiri dari Pemerintah bersama DPR dan melibatkan perwakilan serikat pekerja/ serikat buruh.
Rieke mengatakan perlu likuidasi dan pembubaran perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP) provider outsourcing tenaga kerja di BUMN dan swasta yang melanggar Undang-undang. Selain itu tenaga kerja outsourcing demi hukum hubungan kerjanya beralih menjadi pekerja tetap di perusahaan pemberi pekerjaan yang merupakan pengguna.
Tenaga kerja outsourcing adalah para pekerja dipekerjakan pada inti bisnis yang menurut sifat dan jenis pekerjaanya merupakan pekerjaan pokok dan utama. Namun, para pekerja outsourcing ini masih sering mendapatkan diskriminasi disertai pelanggaran hak normatif. “Selain itu, mereka yang berserikat menjadi korban diberangus karena ikut serikat pekerja,” ujarnya.
Edaran Menteri BUMN
Sementara itu terkait surat edaran yang diterbitkan Menteri BUMN Dahlan yang memberikan ajuan dalam persoalan outsourcing di lingkungan BUMN, Rieke mengatakan bahwa surat edaran tersebut juga tidak berupaya untuk menghapuskan sistem outsorching di lingkungan kementerian tersebut. “Surat itu (edaran) tidak jelas poin-poinnya dan dilarikan lagi kepada mekanisme korporasi,” katanya.
Ia mengeluhkan mengapa Dahlan tidak membedakan sektor pekerjaan inti di dalam BUMN dalam surat edaran tersebut. Menurut dia, pekerja yang pekerjaannya termasuk inti di perusahaan maka statusnya tidak boleh pekerja outsourcing.
“Status pekerja PKWT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu) saja tidak boleh outsourcing,” ujarnya.
Menurut dia, hanya ada lima sektor pekerjaan yang boleh diisi pekerja alih daya yaitu keamanan, jasa kebersihan, katering, transportasi, dan jasa pertambangan. Perusahaan BUMN seharusnya menjadi contoh bagi perusahaan swasta untuk menjalankan peraturan mengenai outsourcing.
Sebelumnya Menteri BUMN Dahlan Iskan telah mengeluarkan Surat Edaran bernomor SE-06/MBU/2013 tentang penataan tenaga kerja outsorching dilingkungan BUMN.
isi surat tersebut adalah:
Dalam rangka melakukan penataan tenaga kerja outsourcing di BUMN, perusahaan BUMN diminta masing-masing melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, direksi BUMN diminta untuk mempelajari dan mencermati masalah tenaga kerja outsourcing dengan teliti dan hati-hati agar sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku sebagaimana diamanatkan oleh Wakil Ketua DPR-RI melalui surat Nomor: PW/11376/ DPR-RI/XI/2013 tanggal 6 November 2013.
Kedua, penyelesaian outsourcing dan PHK di masing-masing BUMN, agar diproses melalui mekanisme korporasi dengan memperhatikan aspek governance dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diamanatkan oleh Wakil Ketua DPR RI melalui surat Nomor: PW/11376/DPR-RI/XI/2013 tanggal 6 November 2013.
Ketiga, agar proses penyelesaian outsourcing dan PHK di masing-masing BUMN berlangsung efektif dan sesuai dengan norma peraturan perundangan-undangan di bidang ketenagakerjaan, maka seluruh BUMN dihimbau untuk berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Dinas Ketenagakerjaan setempat.
Keempat, agar BUMN mengkaji sistem dan pola pengelolaan karyawan outsourcing yang memberikan kepastian hidup yang layak bagi karyawan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kemampuan perusahaan jangka panjang.
Sistem tersebut dapat merupakan bagian dari perusahaan, atau menjadi syarat dalam hal pengunaan perusahaan pemborongan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dikaji secara matang dapat berupa besaran remunerasi yang tidak di bawah UMR/UMP, K3, hak-hak normatif, program pengembangan kompetensi, dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Kelima, direksi agar membentuk suatu Tim Pengawasan penanganan masalah Karyawan outsourcing di BUMN dengan melibatkan Serikat pekerja BUMN yang bersangkutan.
Keenam, seluruh BUMN segera melaporkan kepada Menteri BUMN dengan rincian pada huruf (a) disebutkan praktek, sistem dan pola pengelolaan kesejahteraan karyawan outsourcing di masing-masing BUMN, yang mencakup besaran remunerasi, K3, hak-hak normatif, program pengembangan kompetensi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ditempuh.
Untuk poin enam huruf (b) disebutkan, skema dan proses penyelesaian outsourcing yang sudah dilakukan secara internal berdasarkan mekanisme korporasi dan perudangan-perundangan yangberlaku.




Sumber : beritadewan.com

No comments:

Post a Comment