Tenaga kerja dan lapangan pekerjaan masih menjadi bahasan yang
menarik di Indonesia. Terlebih jika dikaitkan dengan bonus demografi
yang seharusnya punya potensi dan peran besar dalam pembangunan ekonomi
nasional.
Hampir setiap tahun, tenaga kerja atau buruh di Indonesia selalu
turun ke jalan. Masalah yang dibawa selalu sama yakni soal
kesejahteraan. Mereka selalu menuntut kesejahteraan yang lebih baik.
Padahal, setiap tahun pemerintah selalu menaikkan upah minimum provinsi
(UMP) yang dijadikan rujukan menentukan besaran upah bagi buruh. Tapi
kenyataannya, buruh selalu meminta kenaikan gaji yang lebih besar.
Persoalan terkait ketenagakerjaan tidak hanya terjadi di sumber daya
manusia (SDM). Hasil kajian Bank Dunia dan CSIS memberi gambaran nyata
mengenai persoalan dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Tingginya angka
tenaga kerja tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan. Akibatnya, angka pengangguran di Indonesia masih tergolong
cukup tinggi.
Dari hasil kajian Bank Dunia dan LIPI soal ketenagakerjaan di Indonesia, merdeka.com mencoba merangkum lima permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan pelaku usaha. Berikut paparannya.
1. Outsourcing merana
Pekerja alih daya atau outsourcing di Indonesia
diyakini sangat jauh dari sejahtera. Gaji mereka saja rata rata berbeda
30 persen dibandingkan karyawan kontrak di perusahaan yang sama.
Kepala Kajian Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat mengatakan, itu
terjadi lantaran pengawasan pemerintah yang sangat lemah. Kondisi ini
berbeda dengan Jepang, di mana karyawan outsourcing di sana sangat
sejahtera.
"Indonesia semakin kompleks masalah outsourcing. Jepang ideal sekali
dan sangat dilindungi UU nya. Pemerintah Jepang konsen dengan itu. Upah
mereka tidak berbeda jauh berstatus kontrak atau tetap," ucap Nawawi di
Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (16/1).
2. Digaji kecil
Masyarakat miskin di Indonesia tidak hanya dari
kalangan pengangguran atau pendidikan rendah. Hasil kajian LIPI
menyebutkan, sekitar 43,67 persen pekerja Indonesia saat ini masih
berada di bawah garis kemiskinan. Ini terjadi lantaran kecilnya upah dan
tingginya harga barang.
Kepala Kajian Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat mengatakan dalam
penelitiannya pada Februari 2012 silam, 57 persen pekerja informal dan
26,2 persen pekerja formal masih berada di bawah garis kemiskinan.
"Sehingga total pekerja kita hidup di bawah garis kemiskinan 43,67 persen," ucap Nawawi di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (16/1).
Pekerja yang disurvei berasal dari pelbagai bidang. Semisal
pertanian, pertambangan, industri, bangunan, perdagangan, angkutan,
keuangan, jasa dan lainnya. Rata rata gaji pekerja formal hanya Rp
1.227.109. Sedangkan untuk informal hanya Rp 779.812.
3. Lapangan kerja tak sesuai pendidikan
Persoalan pengangguran di Indonesia dipicu
tiadanya kesesuaian antara jenjang pendidikan dan ketersediaan lapangan
kerja. Kondisi ini memicu tenaga kerja terdidik, justru mengambil lahan
pekerjaan kelompok tidak terampil.
Data itu disampaikan oleh Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas, dalam
diskusi bertajuk 'Masalah Ketenagakerjaan: Perbaikan Untuk Semua Pihak'
yang digelar di Center of Strategic and International Studies, Jakarta,
Kamis (16/1).
Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan
pendidikan tinggi baru 5 persen dari total angkatan kerja. Alhasil,
mayoritas pasar buruh diisi oleh alumnus pendidikan dasar dan menengah.
Masalahnya, kata Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses
informasi soal lapangan pekerjaan.
Akhirnya, banyak lulusan SMA bersedia melakoni pekerjaan yang
seharusnya diperuntukkan untuk lulusan SD dan SMP. "Sekitar 20 persen
lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen
semi-skilled," kata Vivi.
Fenomena ini imbas dari kegagalan lulusan pendidikan tinggi,
khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya mengambil
jatah lulusan SMA. Jumlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur saat
ini lima kali lipat pengangguran dewasa. Menurut Vivi, situasi ini sudah
tidak sehat, apabila dibandingkan dengan mayoritas negara lain
berpenghasilan menengah seperti Indonesia.
4. Akses informasi lapangan kerja sulit
Bank Dunia menyoroti fenomena lapangan kerja di
Indonesia yang tidak sesuai antara kebutuhan pencari kerja dengan
pengusaha sebagai pemberi kerja. Fenomena ini disinyalir muncul akibat
ketimpangan informasi, terutama di kalangan anak muda yang baru lulus
sekolah.
Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas mengatakan, 60 persen angkatan
kerja muda terlalu mengandalkan model getok tular alias informasi dari
hasil obrolan dengan teman atau keluarga.
"Ini menandakan adanya kesulitan angkatan kerja untuk mengakses
informasi soal pasar kerja," ujarnya di sela-sela diskusi
ketenagakerjaan yang digelar Center for Strategic and International
Studies, Jakarta, Kamis (16/1).
Kondisi ini, idealnya harus dijembatani oleh pemerintah maupun
pemberi kerja. Sebab, ketidaktahuan cara mencari kerja bukan cuma
dialami lulusan SD atau SMP, melainkan juga SMA hingga sarjana.
5. Ketrampilan tenaga kerja rendah
Pemerintah wajib memediasi institusi pendidikan
dan pengusaha. Dalam hal ini, wajib ada pelatihan di luar bursa kerja
untuk menambah keterampilan generasi muda yang baru lulus sekolah.
"Indonesia harus mendorong diadakannya pelatihan keterampilan dari
pemberi kerja. Untuk kebijakan seperti ini, kita kalah dari Filipina
atau China," Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas.
Hal ini masih ditambah adanya kekurangan mendasar dari mayoritas
tenaga kerja di Indonesia. Kebanyakan mereka hebat dan tekun dalam hal
teknis pekerjaan, tapi menurut Vivi lemah dalam keterampilan lunak (soft
skill).
"Dari data, kebanyakan tenaga kerja terampil kita kurang di
kecerdasan sikap, kemampuan Bahasa Inggris, serta pengoperasian
komputer," ungkapnya.
Sumber : merdeka.com
No comments:
Post a Comment