Tangannya legam terbakar matahari. Tanpa berhenti, pria itu terus
mendorong gerobak di siang yang hampir habis. Suara nyaring kentungan
kayu tak lupa dibunyikan. Bebunyian ini menjadi penanda kehadiran Dirya
si tukang siomay untuk para pelanggan.
“Saya kerja ful, seminggu tujuh hari. Berhenti kalau sudah
capek,”ujarnya saat berbincang dengan RoL di serambi sebuah mushala di
Kawasan Condet, Jakarta Timur. Dirya sudah tiga tahun terakhir berjualan
siomay.
Untuk ukuran wirausaha, penghasilannya lumayan. Dalam sebulan, omzet
Dirya rata-rata bisa mencapai Rp 7.500.000. “Sehari rata-rata Rp 200
ribu-Rp 300 ribu,”jelasnya. Jika dipotong modal dan pengeluran
sehari-hari, Dirya bisa mereguk laba sekitar Rp 2.500.000.
Dari untung menjual siomay, Dirya bisa mengirim Rp 1.000.000 untuk istri
beserta anaknya di kampung, sedang sisanya untuk ditabung. Meski
penghasilannya sudah di atas upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta,
Dirya tak mengerti tentang jaminan sosial.
“Kalau asuransi sih tahu. Kalau sakit terus ada yang
nanggung,”ungkapnya. Dirya pun tak mengerti program perlindungan tenaga
kerja macam jamsostek. Padahal, program ini rencananya akan mulai fokus
kepada pelaku sektor informal macam Dirya setelah bertransformasi
menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) per 1 Januari 2014.
Saat ditanya apa yang akan dilakukan usai berhenti berjualan siomay,
Dirya menjawab akan memilih untuk pulang ke kampungnya di Majalengka,
Jawa Barat. Pria berusia 31 tahun ini memiliki sepetak sawah untuk
dikelola pada hari tua.
Hanya, Dirya mengaku tertarik jika memang ada pihak yang dapat
menjamin masa tua, dan dapat memberi jaminan finansial jika dia
mengalami kecelakaan kerja. Dengan catatan, iuran yang dibayarkan tak
terlalu mahal. Ditambah, uang iurannya tersebut tidak hilang dan dapat
dipertanggungjawabkan. “Asal jelas mah saya mau mas,”ujarnya.
Pekerja sektor informal seperti Dirya di negeri ini memang menjadi
mayoritas. Dari survei yang dilakukan oleh organisasi buruh
internasional (IL0), kebanyakan dari mereka tak punya jaminan sosial apa
pun.
Terdapat 80% dari 2.068 tenaga kerja informal yang menjadi responden
tidak punya jaminan sosial. Mereka tidak memiliki jaminan sosial baik
resmi atau pun tidak. Saat ditanya siapa yang akan merawat mereka saat
sakit, 90% menjawab akan dirawat keluarga.
Meski demikian, hampir 60% tenaga kerja informal memang sudah mengetahui
tentang program Jamsostek. Umumnya, semakin berpendidikan pekerja, maka
tingkat pengetahuan tentang Jamsostek semakin baik.
Sejak era krisis moneter pada 1998 silam, sektor informal dikenal
sebagai penopang pelaku ekonomi di negara ini. Di samping menjadi
mayoritas, pelaku ekonomi ‘pinggiran’ umumnya tak ikut terkena dampak
krisis ekonomi global karena tak tergantung dengan dana perbankan.
Hingga kini, sektor informal pun masih dominan. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, angkatan kerja negeri ini per Agustus 2013
mencapai angka 118,2 juta orang. Rinciannya, 44,8 juta warga bekerja di
sektor formal, sedangkan 66 juta sisanya bekerja di sektor informal.
Direktur Kepesertaan PT Jamsostek (Persero) Junaedi menjelaskan,
sudah ada pekerja disektor informal yang menjadi peserta
Jamsostek.Hingga tahun ini, ujarnya, terdapat 800 ribu tenaga kerja
informal yang sudah terdaftar sebagai peserta. Jumlahnya memang belum
banyak jika dilihat dari total peserta Jamsostek yang mencapai angka
15,7 juta orang.
Dia pun melihat besarnya peluang dari ‘pasar’ sektor informal. Junaedi
berharap, pascatransformasi, BPJS dapat menampung pekerja informal lebih
banyak lagi. Saya targetkan 1 juta peserta setiap tahun jika sudah
masuk BPJS,â€jelasnya.
Junaedi mengaku, sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja
informal memang belum optimal. Sehingga, tukang siomay seperti Dirya pun
belum mengetahui apa itu BPJS.
Dia pun menyebut, berlarutnya pengesahan rencana peraturan pemerintah
(RPP) tentang BPJS membuat PT. Jamsostek kesulitan untuk melakukan
sosialisasi, khususnya ke sektor informal. “Nanti kalau sudah
sosialisasi terus berbeda dengan RPP gimana?”jelasnya.
Padahal, tuturnya, RPP tersebut akan menentukan bagaimana skema iuran
untuk pekerja informal pada rezim BPJS Ketenagakerjaan kelak.
Ada sembilan RPP tentang BPJS yang belum diteken presiden. Padahal,
sesuai petunjuk UU.24/2011, BPJS Ketenagakerjaan akan mulai
diselenggarakan pada 1 Januari 2014.Junaedi mengungkapkan, saat ini
dalam pembahasan rancangan peraturan pelaksana (RPP) Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) masih terkendala mengenai Dana
Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP).
Menurutnya, Kementerian Keuangan mengusulkan untuk menghapuskan dana
untuk program kebermanfaatan tersebut. Padahal DPKP berupa bantuan
pinjaman uang muka perumahan (PUMP) maupun beasiswa merupakan pemanis
untuk menarik pekerja maupun perusahaan menjadi peserta Jamsostek.
Kami berharap DPKP ini tetap dipertahankan setelah Jamsostek menjadi
BPJS Ketenagakerjaan,paparnya. Lebih lanjut Junaidi mengatakan, saat ini
antara pekerja yang menjadi peserta dengan yang belum menjadi peserta
Jamsostek kesenjangannya sangat jauh. Dari total potensi pekerja
sebanyak 40 juta, yang baru menjadi peserta hanya 11,8 juta.Jadi
pekerjaan rumah untuk menarik mereka menjadi peserta masih besar sekali.
Makanya perlu sweetener agar mereka mau menjadi peserta BPJS,kata dia.
Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Elvyn G Massasya mengaku, akan
menyiapkan organisasi khusus untuk memetakan sektor informal.
Menurutnya, marketing officer akan melakukan sosialisasi terhadap
informal. Tak hanya itu, Elvyn mengaku akan bekerjasama dengan asosiasi
dari para pekerja tersebut.
Elvyn menerangkan, BPJS Ketenagakerjaan akan melakukan terobosan baru
guna menjaring kepesertaan di sektor pekerja informal. Menurutnya, BPJS
akan meluncurkan kartu prabayar program proteksi jaminan sosial tenaga
kerja (prepaid card membership). Jamsostek pun sedang melakukan
pembicaraan dengan provider telekomunikasi untuk mengkaji apakah iuran
bisa dibuat dalam bentuk pulsa atau tidak.
Dengan kartu itu, semua pekerja informal, seperti tukang bakso,
pedagang kaki lima, pedagang makanan, dan pekerja bangunan bisa
memeroleh manfaat proteksi Jamsostek. Tentunya mereka harus mendaftarkan
diri dan membeli prepaid card ini,kata Elvyn. Ia berharap, penyediaan
kartu prabayar bagi pekerja informal bisa mendongrak kepesertaan
Jamsostek. Sampai September 2013, jumlah peserta Jamsostek mencapai 15,7
juta tenaga kerja dan 268,2 ribu perusahaan.
Selain bekerjasama dengan itu, BPJS akan berkoordinasi dengan
pemerintah daerah untuk menyubsidi iuran dari para pekerja tersebut.
Dananya, tutur Elvyn, berasal dari dana bantuan sosial yang dianggarkan
dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Terakhir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mewajibkan kepada semua
kepala daerah di Jawa Tengah untuk mendata semua pekerja non pegawai
dan mendaftarkannya ke dalam progam Jamsostek. Dia pun menginstruksikan
agar iuran mereka dapat disubsidi dari APBD.
Cara demikian lebih dulu ditempuh oleh Gubernur Sumatra Barat Irwan
Prayitno. Dana bantuan sosial di provinsi Sumatera Barat dialokasikan
untuk pembayaran iuran Jamsostek bagi pekerja sektor informal.
Irwan menjelaskan dana senilai Rp 82 milliar tersebut akan digunakan
sebagai subsidi untuk iuran para pekerja dari kelas cleaning servis
hingga tukang ojek.
“Pemda memberikan anggaran dibantu dengan bansos dari APBD. Semua tenaga
kerja harus ter-cover, Termasuk outsourcing hingga cleaning
servis,”ungkap Irwan.
Di negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, ujarnya, jaminan
sosial memang menjadi kewajiban bagi pemerintah. Sehingga, semua orang
yang tercatat menjadi warga negara dapat terjamin ketika sakit, pensiun,
hamil, atau mengalami kecelakaan. “Hak asasi seharusnya memang perlu
diayomi pemerintah,”ujarnya.
Sumber : fspmi.co.id
No comments:
Post a Comment