Friday, December 13, 2013

Menanti Jaminan Sosial untuk ‘Tukang Siomay’

Tangannya legam terbakar matahari. Tanpa berhenti, pria itu terus mendorong gerobak di siang yang hampir habis. Suara nyaring kentungan kayu tak lupa dibunyikan. Bebunyian ini menjadi penanda kehadiran Dirya si tukang siomay untuk para pelanggan.
“Saya kerja ful, seminggu tujuh hari. Berhenti kalau sudah capek,”ujarnya saat berbincang dengan RoL di serambi sebuah mushala di Kawasan Condet, Jakarta Timur. Dirya sudah tiga tahun terakhir berjualan siomay.
Untuk ukuran wirausaha, penghasilannya lumayan. Dalam sebulan, omzet Dirya rata-rata bisa mencapai Rp 7.500.000. “Sehari rata-rata Rp 200 ribu-Rp 300 ribu,”jelasnya. Jika dipotong modal dan pengeluran sehari-hari, Dirya bisa mereguk laba sekitar Rp 2.500.000.
Dari untung menjual siomay, Dirya bisa mengirim Rp 1.000.000 untuk istri beserta anaknya di kampung, sedang sisanya untuk ditabung. Meski penghasilannya sudah di atas upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta, Dirya tak mengerti tentang jaminan sosial.

“Kalau asuransi sih tahu. Kalau sakit terus ada yang nanggung,”ungkapnya. Dirya pun tak mengerti program perlindungan tenaga kerja macam jamsostek. Padahal, program ini rencananya akan mulai fokus kepada pelaku sektor informal macam Dirya setelah bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) per 1 Januari 2014.
Saat ditanya apa yang akan dilakukan usai berhenti berjualan siomay, Dirya menjawab akan memilih untuk pulang ke kampungnya di Majalengka, Jawa Barat. Pria berusia 31 tahun ini memiliki sepetak sawah untuk dikelola pada hari tua.
Hanya, Dirya mengaku tertarik jika memang ada pihak yang dapat menjamin masa tua, dan dapat memberi jaminan finansial jika dia mengalami kecelakaan kerja. Dengan catatan, iuran yang dibayarkan tak terlalu mahal. Ditambah, uang iurannya tersebut tidak hilang dan dapat dipertanggungjawabkan. “Asal jelas mah saya mau mas,”ujarnya.
Pekerja sektor informal seperti Dirya di negeri ini memang menjadi mayoritas. Dari survei yang dilakukan oleh organisasi buruh internasional (IL0), kebanyakan dari mereka tak punya jaminan sosial apa pun.
Terdapat 80% dari 2.068 tenaga kerja informal yang menjadi responden tidak punya jaminan sosial. Mereka tidak memiliki jaminan sosial baik resmi atau pun tidak. Saat ditanya siapa yang akan merawat mereka saat sakit, 90% menjawab akan dirawat keluarga.
Meski demikian, hampir 60% tenaga kerja informal memang sudah mengetahui tentang program Jamsostek. Umumnya, semakin berpendidikan pekerja, maka tingkat pengetahuan tentang Jamsostek semakin baik.
Sejak era krisis moneter pada 1998 silam, sektor informal dikenal sebagai penopang pelaku ekonomi di negara ini. Di samping menjadi mayoritas, pelaku ekonomi ‘pinggiran’ umumnya tak ikut terkena dampak krisis ekonomi global karena tak tergantung dengan dana perbankan.
Hingga kini, sektor informal pun masih dominan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, angkatan kerja negeri ini per Agustus 2013 mencapai angka 118,2 juta orang. Rinciannya, 44,8 juta warga bekerja di sektor formal, sedangkan 66 juta sisanya bekerja di sektor informal.
Direktur Kepesertaan PT Jamsostek (Persero) Junaedi menjelaskan, sudah ada pekerja disektor informal yang menjadi peserta Jamsostek.Hingga tahun ini, ujarnya, terdapat 800 ribu tenaga kerja informal yang sudah terdaftar sebagai peserta. Jumlahnya memang belum banyak jika dilihat dari total peserta Jamsostek yang mencapai angka 15,7 juta orang.
Dia pun melihat besarnya peluang dari ‘pasar’ sektor informal. Junaedi berharap, pascatransformasi, BPJS dapat menampung pekerja informal lebih banyak lagi. Saya targetkan 1 juta peserta setiap tahun jika sudah masuk BPJS,”jelasnya.
Junaedi mengaku, sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal memang belum optimal. Sehingga, tukang siomay seperti Dirya pun belum mengetahui apa itu BPJS.
Dia pun menyebut, berlarutnya pengesahan rencana peraturan pemerintah (RPP) tentang BPJS membuat PT. Jamsostek kesulitan untuk melakukan sosialisasi, khususnya ke sektor informal. “Nanti kalau sudah sosialisasi terus berbeda dengan RPP gimana?”jelasnya.
Padahal, tuturnya, RPP tersebut akan menentukan bagaimana skema iuran untuk pekerja informal pada rezim BPJS Ketenagakerjaan kelak.
Ada sembilan RPP tentang BPJS yang belum diteken presiden. Padahal, sesuai petunjuk UU.24/2011, BPJS Ketenagakerjaan akan mulai diselenggarakan pada 1 Januari 2014.Junaedi mengungkapkan, saat ini dalam pembahasan rancangan peraturan pelaksana (RPP) Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) masih terkendala mengenai Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP).
Menurutnya, Kementerian Keuangan mengusulkan untuk menghapuskan dana untuk program kebermanfaatan tersebut. Padahal DPKP berupa bantuan pinjaman uang muka perumahan (PUMP) maupun beasiswa merupakan pemanis untuk menarik pekerja maupun perusahaan menjadi peserta Jamsostek.
Kami berharap DPKP ini tetap dipertahankan setelah Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan,paparnya. Lebih lanjut Junaidi mengatakan, saat ini antara pekerja yang menjadi peserta dengan yang belum menjadi peserta Jamsostek kesenjangannya sangat jauh. Dari total potensi pekerja sebanyak 40 juta, yang baru menjadi peserta hanya 11,8 juta.Jadi pekerjaan rumah untuk menarik mereka menjadi peserta masih besar sekali. Makanya perlu sweetener agar mereka mau menjadi peserta BPJS,kata dia.
Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Elvyn G Massasya mengaku, akan menyiapkan organisasi khusus untuk memetakan sektor informal. Menurutnya, marketing officer akan melakukan sosialisasi terhadap informal. Tak hanya itu, Elvyn mengaku akan bekerjasama dengan asosiasi dari para pekerja tersebut.
Elvyn menerangkan, BPJS Ketenagakerjaan akan melakukan terobosan baru guna menjaring kepesertaan di sektor pekerja informal. Menurutnya, BPJS akan meluncurkan kartu prabayar program proteksi jaminan sosial tenaga kerja (prepaid card membership). Jamsostek pun sedang melakukan pembicaraan dengan provider telekomunikasi untuk mengkaji apakah iuran bisa dibuat dalam bentuk pulsa atau tidak.
Dengan kartu itu, semua pekerja informal, seperti tukang bakso, pedagang kaki lima, pedagang makanan, dan pekerja bangunan bisa memeroleh manfaat proteksi Jamsostek. Tentunya mereka harus mendaftarkan diri dan membeli prepaid card ini,kata Elvyn. Ia berharap, penyediaan kartu prabayar bagi pekerja informal bisa mendongrak kepesertaan Jamsostek. Sampai September 2013, jumlah peserta Jamsostek mencapai 15,7 juta tenaga kerja dan 268,2 ribu perusahaan.
Selain bekerjasama dengan itu, BPJS akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyubsidi iuran dari para pekerja tersebut. Dananya, tutur Elvyn, berasal dari dana bantuan sosial yang dianggarkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Terakhir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mewajibkan kepada semua kepala daerah di Jawa Tengah untuk mendata semua pekerja non pegawai dan mendaftarkannya ke dalam progam Jamsostek. Dia pun menginstruksikan agar iuran mereka dapat disubsidi dari APBD.
Cara demikian lebih dulu ditempuh oleh Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno. Dana bantuan sosial di provinsi Sumatera Barat dialokasikan untuk pembayaran iuran Jamsostek bagi pekerja sektor informal.
Irwan menjelaskan dana senilai Rp 82 milliar tersebut akan digunakan sebagai subsidi untuk iuran para pekerja dari kelas cleaning servis hingga tukang ojek.
“Pemda memberikan anggaran dibantu dengan bansos dari APBD. Semua tenaga kerja harus ter-cover, Termasuk outsourcing hingga cleaning servis,”ungkap Irwan.
Di negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat, ujarnya, jaminan sosial memang menjadi kewajiban bagi pemerintah. Sehingga, semua orang yang tercatat menjadi warga negara dapat terjamin ketika sakit, pensiun, hamil, atau mengalami kecelakaan. “Hak asasi seharusnya memang perlu diayomi pemerintah,”ujarnya.




Sumber : fspmi.co.id

No comments:

Post a Comment