Dalam soal sepakbola, Indonesia kembali tercoreng arang di muka.
Arsenal FC menggugat pengusaha lokal karena memakai nama merek dan logo
Arsenal sebagai alat komersil. Tak tanggung-tanggung, pengusaha nakal
itu mengklaim dan mendaftarkan apa yang diplagiatnya ke Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Sikap Arsenal yang ingin memproteksi logo-nya tentu mudah dimengerti. Logo dan branding memang erat kaitannya dalam dunia olahraga. Maka jangan berani macam-macam terhadap suatu logo.
Ini karena logo-logo klub biasanya tak lepas dari sisi sejarah. Maka, dalam perancangan logo pun nilai-nilai kultur sosial yang dekat dengan masyarakat selalu dimasukkan. Entah itu patriotisme, nasionalisme, fanatasime kedaerahan, religi, ataupun ideologi.
Setidaknya, itu menurut teori tentang pembentukan logo.
Namun ada anggapan lain yang beredar, terutama tentang logo di sepakbola. Menurut anggapan umumnya, logo-logo klub sepakbola adalah bagian dari propaganda karena ada nilai-nilai interistik di dalamnya (akan dibahas dalam tulisan kedua, red).
Patut diingat, logo sendiri bukan brand. Logo juga bukan identitas. Brand dan identitas memiliki makna yang lebih dalam daripada logo. Praktisi desain Surianto Rustan pernah berkata bahwa seumpama tubuh manusia, indentitas adalah penampilan fisik, sementara komunikasi adalah perilakunya. Sedangkan brand adalah keseluruhan manusia itu sendiri, termasuk jiwa dan raganya. Brand merupakan rangkuman nilai esensi dari suatu entitas.
Ini berbeda dengan logo. Ibarat manusia, logo adalah wajahnya. Buruk rupanya, buruk pula pandangan orang tentangnya. Karena itu, dikalangan para perancang muncul sebuah istilah: “You can’t judge a book by its cover, or so the saying goes. We beg to differ”.
Seiring berputarnya waktu, dalam dunia modern yang segala sesuatunya bisa dikomersilkan, logo memang jadi bagian penting dalam ekspansi bisnis. Mengutip ucapan seorang filsuf Perancis, Jacques Ellus, “Tujuan dari propaganda modern adalah tidak lagi mengubah pada opini, tetapi membangunkan sebuah kepercayaan terhadap mitos”.
Di dunia sepakbola modern, mitos itu adalah brand. Semakin harum brand itu dikenal, semakin banyak orang akan mencarinya. Tak peduli jika brand itu membual ataupun mereka-reka mitos yang dibuat-buat.
Kalangan praktisi pemasaran klub pasti paham. Saat ini banyak orang-orang yang peduli brand bertemu dan berdiskusi tentang klub kecintaan mereka. Tetapi, obrolan terpenting dari semua itu adalah belanja, belanja dan belanja.
Keinginan konsumen untuk mendapatkan sesuatu yang didasarkan pada hasrat, bukan pada kegunaan, telah menjinakkan pasar untuk mudah dimanipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Pada pengelolaan klub-klub professional, logo berperan dalam manipulasi ini.
Misalnya saja Real Madrid dan Barcelona. Baru-baru ini keduanya menghilangkan lambang salib pada logo untuk “menghargai” kaum muslim di timur tengah. Tapi, terlalu naïf jika kita percaya nilai-nilai toleransi itu yang dijadikan latar belakang. Tentu saja semua itu terjadi juga karena dorongan uang.
Tentu ironis. Di saat mereka menciptakan brand, mereka harus menanggalkan identitas dan wajah asli mereka. Para kritikus berujar bahwa kasus ini penanda erosi budaya eropa.
Dari “Babes” hingga Lantai Bursa Saham
Dalam urusan mempersolek brand, tentu nama Manchester United mesti diperhitungkan. Si Setan Merah ini memang gemar mengutak-atik urusan penampilan brand.
Jauh sebelum hingar bingar dunia bisnis memasuki ranah sepakbola Inggris, MU pun sudah begitu peduli dengan arti sebuah brand. Di dekade 60-an, kesal sebab klubnya selalu jadi olok-olokan lawan, sang pelatih Sir Matt Busby meminta publik mengganti julukan klub dari “Busby Babes” menjadi “The Red Devils” yang diadopsi dari klub rugbi Salford city.
Memang, agak aneh jika tim yang selalu memang, bermain sangar dan menerkam lawan-lawannya menamakan para punggawanya dengan kata “babes”. Tentu kelewat imut. Dengan meminjam nama “Setan Merah”, Matt Busby lalu membentuk brand MU sebagai brand yang garang, meski bagi beberapa orang itu sebagai sikap anti-religi.
Tak sebatas nama julukan semata. Brand “Setan Merah” pun dimasukkan ke dalam bentuk visual yang lebih sakral, yaitu lambang klub. Ini jadi sesuatu yang unik mengingat penulis sendiri belum menemukan contoh kasus serupa MU ini di belahan Eropa lainnya.
Di era globalisasi saat ini, Si Setan Merah pun lalu duduk manis di jajaran top klub olahraga dengan brand terbaik seantero dunia. Bahkan MU mempunyai fans yang loyal, dan mau royal, lebih dari 75 juta jiwa, lebih banyak ketimbang penduduk Britania Raya itu sendiri.
Fakta tersebut tak mengherankan. Banyak para ahli pasar, yang memiliki pengalaman bekerja di Pepsi, Disney dan berbagai jenis industri pemasaran, berada di belakang kesuksesan MU mengkapitalisasi pasar. Lewat MU, mereka telah diberi jalan membawa keahlian mereka ke dalam industri olahraga.
Jalan itu dibuka selebar-lebarnya sejak 1998. Menanggalkan identitas “Football Club” pada lambang tentu jadi salah satu tonggak paling penting dalam perjalanan komersialisasi MU.
Menurut Peter Crowther, jurnalis sekaligus penulis buku “Our Club Our Rules” tentang FCUM, biang keladi dari semua ini adalah sang taipan media, Rupert Murdoch. Di tahun itu, ia mengajukan tawaran fantastis 678 juta poundsterling untuk membeli MU. Namun, dalam klausul kontrak kerja sama yang diajukan jauh sebelum adanya tawaran pembelian, MU diharuskan menghapus kata-kata football club di logo mereka.
Siapa yang tak tergiur dengan nominal spektakuler seperti itu. Demi uang toh apalah artinya sebuah identitas. Manipulasi jati diri pun jadi satu satu hal yang mudah dilakukan.
Perubahan kecil ini memiliki dampak yang besar terhadap olahraga. Manchester United pada dasarnya menyatakan mereka tidak lagi hanya sebuah tim olahraga. Patut diapresiasi mereka berusaha jujur, seolah menegaskan keseriusan dalam mengubah sepakbola dari trah awal sebagai penyegar jasmani belaka menjadi sebuah industri yang mendunia.
Industri Televisi dan Kapitalis Amerika yang Mempengaruhi Logo
Bagi para ahli pasar, beruntunglah di tahun 1950 dunia dapat menyaksikan kelahiran teknik untuk menanamkan merk kedalam benak konsumen secara cepat. Ya, melalui televisi, pesan memang lebih mudah untuk sampai ke setiap rumah.
Lewat televisi juga lah sepakbola Inggris berubah. Selain dengan memberikan keuntungan maksimal pada pemilik klub dan pemain, televisi juga mempercepat transformasi fans dari “anggota” menjadi “konsumen”.
Industri televisi juga turut berperan dalam evolusi logo klub-klub Inggris. Dari sisi visual, selama kurun waktu 20 tahun, klub-klub Premier Leaque gemar menggonta-ganti logo mereka, entah itu dengan memodifikasi, merombak total, ataupun menghilangkan identitas awal baik itu warna maupun simbol. Hal ini terbalik dengan mayoritas klub di liga-liga lainnya semisal Spanyol, Jerman, ataupun Italia.
Tapi dalam dunia industri, kemampuan untuk beradaptasi dan berinovasi seperti itulah yang akan membuat suatu entitas akan bertahan. Maka klub pun dituntut untuk membuat segalanya seindah mungkin. Entah itu merenovasi stadion, mengubah warna jersey, ataupun lambang.
Karena itu logo pun dituntut mengikuti pasar. Misalnya periode awal millenium ketiga, ketika pasar gemar dengan segala yang berbau tiga dimensi. Arsenal, Chelsea, dan Liverpool lalu mengikutinya dengan penggunaan efek trimatra. Dengan memanfaatkan gradasi warna, muncul kesan tentang adanya kedalaman dan kemodernan.
Sesuai dengan teori branding, untuk memudahkan orang mengingat pesan yang ingin kita sampaikan, pesan itu haruslah dibuat sepadat, sesederhana, dan semenarik mungkin. Dalam industri, teori itu sudah diaplikasikan betul-betul. Termasuk dalam logo. Mereka mengadopsi paham “A Logo is the point of entry to the brand” yang diucapkan Milton Glaser, seorang designer grafis yang mempopulerkan logo “I love NY”.
Di Inggris, konsep kesederhanaan, yang sempat popular di era 1980-an, juga kembali mencuat. Cirinya adalah memiminalisir kerumitan bentuk dan jumlah warna. Dan klub-klub Inggris amat peduli betul dengan hal-hal sedetail itu.
Paham ini sendiri dibawa oleh para pemilik klub berkebangsaan Amerika. Di EPL ada Fulham, Aston Villa, Arsenal, MU, Liverpool sementara di divisi Championship terdapat Milwall dan Derby County yang bergaya ke-amerika-amerikaan menginduk bosnya. Tak percaya? Perhatikan saja logo klub-klub itu.
Tekanan apparel pun terkadang berpengaruh terhadap badge. Liverpool dan Tottenham Hotspur, yang disponsori apparel Amerika, jadi contohnya. Dihapusnya gambar Shankly Gates, dan dipindahkannya gambar dua memorial api guna mengenang korban Hillsborough, jadi contoh bagaimana Warrior mengubah logo Liverpool jadi bergaya minimalis.
Dalam soal perubahan logo ini, fans tradisional terkadang mengerenyutkan dahi. Mereka harus rela kecintaanya dibalas dengan kebijakan-kebijakan pahit yang mengatasnamakan kepentingan global. Semuanya bisa terlihat dari logo.
Sumber : fspmi.co.id
Sikap Arsenal yang ingin memproteksi logo-nya tentu mudah dimengerti. Logo dan branding memang erat kaitannya dalam dunia olahraga. Maka jangan berani macam-macam terhadap suatu logo.
Ini karena logo-logo klub biasanya tak lepas dari sisi sejarah. Maka, dalam perancangan logo pun nilai-nilai kultur sosial yang dekat dengan masyarakat selalu dimasukkan. Entah itu patriotisme, nasionalisme, fanatasime kedaerahan, religi, ataupun ideologi.
Setidaknya, itu menurut teori tentang pembentukan logo.
Namun ada anggapan lain yang beredar, terutama tentang logo di sepakbola. Menurut anggapan umumnya, logo-logo klub sepakbola adalah bagian dari propaganda karena ada nilai-nilai interistik di dalamnya (akan dibahas dalam tulisan kedua, red).
Patut diingat, logo sendiri bukan brand. Logo juga bukan identitas. Brand dan identitas memiliki makna yang lebih dalam daripada logo. Praktisi desain Surianto Rustan pernah berkata bahwa seumpama tubuh manusia, indentitas adalah penampilan fisik, sementara komunikasi adalah perilakunya. Sedangkan brand adalah keseluruhan manusia itu sendiri, termasuk jiwa dan raganya. Brand merupakan rangkuman nilai esensi dari suatu entitas.
Ini berbeda dengan logo. Ibarat manusia, logo adalah wajahnya. Buruk rupanya, buruk pula pandangan orang tentangnya. Karena itu, dikalangan para perancang muncul sebuah istilah: “You can’t judge a book by its cover, or so the saying goes. We beg to differ”.
Seiring berputarnya waktu, dalam dunia modern yang segala sesuatunya bisa dikomersilkan, logo memang jadi bagian penting dalam ekspansi bisnis. Mengutip ucapan seorang filsuf Perancis, Jacques Ellus, “Tujuan dari propaganda modern adalah tidak lagi mengubah pada opini, tetapi membangunkan sebuah kepercayaan terhadap mitos”.
Di dunia sepakbola modern, mitos itu adalah brand. Semakin harum brand itu dikenal, semakin banyak orang akan mencarinya. Tak peduli jika brand itu membual ataupun mereka-reka mitos yang dibuat-buat.
Kalangan praktisi pemasaran klub pasti paham. Saat ini banyak orang-orang yang peduli brand bertemu dan berdiskusi tentang klub kecintaan mereka. Tetapi, obrolan terpenting dari semua itu adalah belanja, belanja dan belanja.
Keinginan konsumen untuk mendapatkan sesuatu yang didasarkan pada hasrat, bukan pada kegunaan, telah menjinakkan pasar untuk mudah dimanipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Pada pengelolaan klub-klub professional, logo berperan dalam manipulasi ini.
Misalnya saja Real Madrid dan Barcelona. Baru-baru ini keduanya menghilangkan lambang salib pada logo untuk “menghargai” kaum muslim di timur tengah. Tapi, terlalu naïf jika kita percaya nilai-nilai toleransi itu yang dijadikan latar belakang. Tentu saja semua itu terjadi juga karena dorongan uang.
Tentu ironis. Di saat mereka menciptakan brand, mereka harus menanggalkan identitas dan wajah asli mereka. Para kritikus berujar bahwa kasus ini penanda erosi budaya eropa.
Dari “Babes” hingga Lantai Bursa Saham
Dalam urusan mempersolek brand, tentu nama Manchester United mesti diperhitungkan. Si Setan Merah ini memang gemar mengutak-atik urusan penampilan brand.
Jauh sebelum hingar bingar dunia bisnis memasuki ranah sepakbola Inggris, MU pun sudah begitu peduli dengan arti sebuah brand. Di dekade 60-an, kesal sebab klubnya selalu jadi olok-olokan lawan, sang pelatih Sir Matt Busby meminta publik mengganti julukan klub dari “Busby Babes” menjadi “The Red Devils” yang diadopsi dari klub rugbi Salford city.
Memang, agak aneh jika tim yang selalu memang, bermain sangar dan menerkam lawan-lawannya menamakan para punggawanya dengan kata “babes”. Tentu kelewat imut. Dengan meminjam nama “Setan Merah”, Matt Busby lalu membentuk brand MU sebagai brand yang garang, meski bagi beberapa orang itu sebagai sikap anti-religi.
Tak sebatas nama julukan semata. Brand “Setan Merah” pun dimasukkan ke dalam bentuk visual yang lebih sakral, yaitu lambang klub. Ini jadi sesuatu yang unik mengingat penulis sendiri belum menemukan contoh kasus serupa MU ini di belahan Eropa lainnya.
Di era globalisasi saat ini, Si Setan Merah pun lalu duduk manis di jajaran top klub olahraga dengan brand terbaik seantero dunia. Bahkan MU mempunyai fans yang loyal, dan mau royal, lebih dari 75 juta jiwa, lebih banyak ketimbang penduduk Britania Raya itu sendiri.
Fakta tersebut tak mengherankan. Banyak para ahli pasar, yang memiliki pengalaman bekerja di Pepsi, Disney dan berbagai jenis industri pemasaran, berada di belakang kesuksesan MU mengkapitalisasi pasar. Lewat MU, mereka telah diberi jalan membawa keahlian mereka ke dalam industri olahraga.
Jalan itu dibuka selebar-lebarnya sejak 1998. Menanggalkan identitas “Football Club” pada lambang tentu jadi salah satu tonggak paling penting dalam perjalanan komersialisasi MU.
Menurut Peter Crowther, jurnalis sekaligus penulis buku “Our Club Our Rules” tentang FCUM, biang keladi dari semua ini adalah sang taipan media, Rupert Murdoch. Di tahun itu, ia mengajukan tawaran fantastis 678 juta poundsterling untuk membeli MU. Namun, dalam klausul kontrak kerja sama yang diajukan jauh sebelum adanya tawaran pembelian, MU diharuskan menghapus kata-kata football club di logo mereka.
Siapa yang tak tergiur dengan nominal spektakuler seperti itu. Demi uang toh apalah artinya sebuah identitas. Manipulasi jati diri pun jadi satu satu hal yang mudah dilakukan.
Perubahan kecil ini memiliki dampak yang besar terhadap olahraga. Manchester United pada dasarnya menyatakan mereka tidak lagi hanya sebuah tim olahraga. Patut diapresiasi mereka berusaha jujur, seolah menegaskan keseriusan dalam mengubah sepakbola dari trah awal sebagai penyegar jasmani belaka menjadi sebuah industri yang mendunia.
Industri Televisi dan Kapitalis Amerika yang Mempengaruhi Logo
Bagi para ahli pasar, beruntunglah di tahun 1950 dunia dapat menyaksikan kelahiran teknik untuk menanamkan merk kedalam benak konsumen secara cepat. Ya, melalui televisi, pesan memang lebih mudah untuk sampai ke setiap rumah.
Lewat televisi juga lah sepakbola Inggris berubah. Selain dengan memberikan keuntungan maksimal pada pemilik klub dan pemain, televisi juga mempercepat transformasi fans dari “anggota” menjadi “konsumen”.
Industri televisi juga turut berperan dalam evolusi logo klub-klub Inggris. Dari sisi visual, selama kurun waktu 20 tahun, klub-klub Premier Leaque gemar menggonta-ganti logo mereka, entah itu dengan memodifikasi, merombak total, ataupun menghilangkan identitas awal baik itu warna maupun simbol. Hal ini terbalik dengan mayoritas klub di liga-liga lainnya semisal Spanyol, Jerman, ataupun Italia.
Tapi dalam dunia industri, kemampuan untuk beradaptasi dan berinovasi seperti itulah yang akan membuat suatu entitas akan bertahan. Maka klub pun dituntut untuk membuat segalanya seindah mungkin. Entah itu merenovasi stadion, mengubah warna jersey, ataupun lambang.
Karena itu logo pun dituntut mengikuti pasar. Misalnya periode awal millenium ketiga, ketika pasar gemar dengan segala yang berbau tiga dimensi. Arsenal, Chelsea, dan Liverpool lalu mengikutinya dengan penggunaan efek trimatra. Dengan memanfaatkan gradasi warna, muncul kesan tentang adanya kedalaman dan kemodernan.
Sesuai dengan teori branding, untuk memudahkan orang mengingat pesan yang ingin kita sampaikan, pesan itu haruslah dibuat sepadat, sesederhana, dan semenarik mungkin. Dalam industri, teori itu sudah diaplikasikan betul-betul. Termasuk dalam logo. Mereka mengadopsi paham “A Logo is the point of entry to the brand” yang diucapkan Milton Glaser, seorang designer grafis yang mempopulerkan logo “I love NY”.
Di Inggris, konsep kesederhanaan, yang sempat popular di era 1980-an, juga kembali mencuat. Cirinya adalah memiminalisir kerumitan bentuk dan jumlah warna. Dan klub-klub Inggris amat peduli betul dengan hal-hal sedetail itu.
Paham ini sendiri dibawa oleh para pemilik klub berkebangsaan Amerika. Di EPL ada Fulham, Aston Villa, Arsenal, MU, Liverpool sementara di divisi Championship terdapat Milwall dan Derby County yang bergaya ke-amerika-amerikaan menginduk bosnya. Tak percaya? Perhatikan saja logo klub-klub itu.
Tekanan apparel pun terkadang berpengaruh terhadap badge. Liverpool dan Tottenham Hotspur, yang disponsori apparel Amerika, jadi contohnya. Dihapusnya gambar Shankly Gates, dan dipindahkannya gambar dua memorial api guna mengenang korban Hillsborough, jadi contoh bagaimana Warrior mengubah logo Liverpool jadi bergaya minimalis.
Dalam soal perubahan logo ini, fans tradisional terkadang mengerenyutkan dahi. Mereka harus rela kecintaanya dibalas dengan kebijakan-kebijakan pahit yang mengatasnamakan kepentingan global. Semuanya bisa terlihat dari logo.
Sumber : fspmi.co.id
No comments:
Post a Comment