Sejumlah serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan
Sosial (KAJS) membuka posko pengaduan BPJS. Menurut Sekjen KAJS, Said
Iqbal, saat ini posko fokus menerima pengaduan masyarakat atas
penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Ia yakin banyak warga yang belum
mengetahui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS
Kesehatan sejak 1 Januari 2014 itu.
Sampai saat ini posko pengaduan sudah terbentuk di 12 provinsi dan
120 kabupaten/kota. Posko itu terletak di kantor serikat pekerja di
berbagai daerah yang tergabung dengan KAJS. Seperti sekretariat KSPI,
FSPMI, SPSI, OPSI, FSBI dan FSP TSK. Untuk memudahkan masyarakat, posko
membuka call center di nomor 021-87796916 dan fax 021-8413954.
Pekerja membuka posko lantaran menilai pemerintah setengah hati
menyelenggarakan BPJS. Misalnya, terkait fasilitas kesehatan,
penganggaran, regulasi dan transformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi
BPJS. Masalah ini diyakini akan berpengaruh pada pelayanan. Iqbal
mencatat 10,3 juta warga miskin dan tidak mampu bakal ditolak Puskesmas,
Klinik dan Rumah Sakit (RS
UU SJSN dan BPJS menegaskan peserta BPJS wajib membayar iuran. PBI
seharusnya menjadi tanggungan pemerintah. Namun, pemerintah hanya mau
menanggung 86,4 juta orang peserta PBI. Data Tim Nasional Percepatan
Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) menunjukan jumlah orang miskin dan tidak
mampu ada 96,7 juta orang. “Pemerintah setengah hati jalankan BPJS
Kesehatan karena 10,3 juta orang terancam tidak mendapat pelayanan
kesehatan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (03/1).
Ketidakseriusan itu juga tampak dari belum terbit atau
dipublikasikannya seluruh peraturan pelaksana BPJS seperti revisi
Perpres tentang Jaminan Kesehatan. Akibatnya, pelaksanaan BPJS
Kesehatan, khususnya bagi peserta penerima upah menjadi tidak jelas.
Iqbal mengingatkan, regulasi itu perlu mengatur perusahaan yang mampu
membayar iuran jaminan kesehatan lebih dari yang ditetapkan. Misalnya,
besaran iuran untuk penerima upah sebesar 4,5 persen dari upah sebulan,
tapi perusahaan yang bersangkutan selaku pemberi kerja mau membayar
iuran lebih dari itu. Oleh karenanya, butuh regulasi yang mengatur agar
perusahaan tersebut tidak menurunkan besaran iuran jaminan kesehatan
bagi pekerjanya. Atau bagi perusahaan yang mau menanggung iuran BPJS
Kesehatan sebesar 4,5 persen maka pekerja tidak perlu mengiur.
Pada kesempatan yang sama presidium KAJS sekaligus koordinator
advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mencatat pemerintah luput
memperhatikan berbagai hal dalam menyiapkan peluncuran BPJS. Misalnya,
bagaimana dengan nasib anak jalanan dan terlantar yang sulit diketahui
asal-usul keluarganya. Atau anak-anak yang ada di panti asuhan. Menurut
Timboel pemerintah berkewajiban menanggung beban mereka dan
mendaftarkannya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Baginya hal itu sejalan
dengan pidato Presiden SBY dalam peluncuran BPJS pada 1 Januari 2014
lalu yang menyebut tidak ada lagi rakyat miskin yang ditolak RS.
Persoalan lainnya menurut Timboel berkaitan dengan sistem rujukan
yang digunakan BPJS Kesehatan. Sebab dari advokasi yang dilakukan BPJS
Watch, Timboel menemukan seorang PNS golongan IV berusia lanjut yang
jatuh sakit dan keadaannya kritis tidak mendapat pelayanan rujukan yang
baik. Sebab, rujukan yang diberikan Puskesmas di Kalimantan Tengah itu
untuk RS tipe C. Ketika di bawa ke RS tipe C, pasien yang bersangkutan
tidak mendapat pelayanan yang memadai.
Alhasil, Timboel menandaskan, beberapa hari kemudian pasien tersebut
meninggal dunia. Atas dasar itu Timboel mengingatkan agar proses rujukan
harus disesuaikan dengan kondisi peserta. Jika kondisi kesehatan
peserta tergolong buruk dan butuh ditangani cepat maka harus dirujuk ke
RS yang tepat tanpa proses yang berbelit. “Mekanisme rujukan ini jangan
kaku, harus melihat kondisi pasien (peserta BPJS Kesehatan,-red),”
tegasnya.
Lalu terkait Pekerja Rumah Tangga (PRT), menurut Timboel pemberi
kerja atau majikan harus mendaftarkannya lewat skema peserta penerima
upah. Sehingga besaran iuran yang ditanggung sebesar 4,5 persen dari
upah sebulan. Untuk pekerja sektor formal yang belum terdaftar menjadi
peserta BPJS Kesehatan, Timboel mengimbau agar mereka segera mendaftar
sendiri. Hal itu menurutnya sesuai dengan putusan MK. Usai mendaftar
maka BPJS Kesehatan bertugas menagih iuran kepada pemberi kerja.
Sedangkan anggota Presidium KAJS dari FSP TSK, Indra Munaswar,
mengaku dalam tiga hari beroperasinya BPJS Kesehatan sudah menerima
banyak pengaduan dari masyarakat. Misalnya, peserta mandiri Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek ternyata tidak beralih secara
otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Selain itu ketika BPJS
Kesehatan bergulir mereka harus membayar iuran lebih mahal.
Indra menemukan ada rakyat miskin yang mencoba mendaftar menjadi
peserta BPJS Kesehatan tapi kebingungan kemana harusmendaftar.
Kebingungan itu bisa terjadi karena regulasi tak jelas. Tak ada juga
amanat bagi pejabat pemerintah seperti camat dan lurah untuk membantu
warga mengakses BPJS. Padahal untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan,
warga yang bersangkutan harus mendapat kartu BPJS. Menurutnya, BPJS
harus merujuk praktik Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang melibatkan pejabat
lokal sehingga memudahkan masyarakat.
Sumber : fspmi.or.id
No comments:
Post a Comment