Friday, February 21, 2014

Disparitas penghasilan antara orang kaya dengan miskin sangat tinggi.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa relasi buruh dengan pengusaha atau pemilik modal itu harus dirubah, bukan lagi hubungan faktor produksi melainkan hubungan kemitraan.
“Konstitusi kita, dalam UU 1945, Pasal 33 ayat 1 menyebutkan bahwa perekonomian kita disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Ini diartikan sebagai kemitraan atau partnership”, kata Jimly saat menjadi narasumber dalam acara Seminar Internasional dengan tema Mewujudkan Negara Sejahtera yang diselenggarakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), di Hotel Kartika Chandra, Kamis (13/02).

Jimly menerangkan, hubungan kemitraan antara buruh dengan pengusaha adalah sesuatu hal yang diidam-idamkan. Bila buruh ini diperlakukan sebagai bagian dari faktor produksi maka buruh nilainya sama dengan semen atau sepatu atau bahan materil. “Untuk itu, harus tercermin dalam kebijakan, sebab bila tidak maka akan terjadi ketimpangan”, ujarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia itu melanjutkan, di luar negeri seperti Eropa, Amerika dan Australia, penghasilan menteri dengan pekerja kasar itu tidak terlalu jauh, para penganggur pun mendapatkan penghasilan, melalui santunan. Pada jaman orde lama, menteri dengan pekerja kasar penghasilannya tidaklah terlalu jauh. Masih ada menteri yang naik sepeda ontel. Namun di jaman orde baru ketimpangan mulai terasa. Lebih parahnya lagi di era reformasi. Disparitas penghasilan antara orang kaya dengan miskin sangat tinggi.
“Dan ini dilegalkan dalam undang-undang. Berarti ini problem hukum kita. Hukum yang kita tegakan ini tidak identik dengan tegaknya keadilan. Banyak produk hukum yang tidak mengerti keadilan. Banyak pula para sarjana hukum yang hanya memahami teks-teks titik koma”, jelasnya.


Sumber : fspmi.or.id

No comments:

Post a Comment