Masyarakat Indonesia kemungkinan besar masih ingat masa-masa krisis
moneter tahun 1997 yang memunculkan pergerakan reformasi 1998 di Tanah
Air, serta memiliki efek ekonomi kepada banyak negara.
Pergolakan ekonomi tidak hanya krisis moneter 1997 saja, dunia
ternyata masih diusik oleh krisis finansial yang disebabkan mandeknya
“credit subprime mortgage” sektor properti di Amerika Serikat pada tahun
2008. Kemudian krisis utang negara-negara kawasan Eropa yang berdampak
besar terhadap perekonomian global.
Sebenarnya, telah terdapat berbagai kasus dalam historis di mana
negara-negara mulai menata sistem jaminan sosial terhadap warga negara
mereka secara nasional, sejak negara-negara tersebut mengalami
keguncangan ekonomi.
Ambil contoh Amerika Serikat, yang mulai menerbitkan program jaminan
sosial versi negara adidaya tersebut setelah mereka dilanda “Great
Depression” (Depresi Besar) pada akhir tahun 1920-an.
Di Indonesia sendiri, pemerintah telah berencana menerapkan program
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang rencananya akan mulai
diterapkan pada awal tahun 2014 mendatang.
Rencana tersebut mendapat dukungan dari sejumlah lembaga keuangan
multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Bank Dunia menyatakan, postur proteksi sosial di Indonesia akan
diperkuat bila sistem keamanan sosial nasional yang baru, SJSN, mulai
diterapkan pada 2014.
Hal tersebut karena bila terimplementasi dengan baik, menurut Bank
Dunia, maka program SJSN bisa membantu mengurangi kerentanan dan
mendukung perlindungan terhadap guncangan ekonomi.
Selain itu, program SJSN juga dinilai akan membantu memfasilitasi
mobilitas pekerjaan, mengurangi tingkat kemiskinan warga lansia, dan
berupaya mengatasi ketimpangan sosial.
Lembaga keuangan multilateral itu juga menyatakan, perbaikan dalam
keamanan sosial dan cakupan jaminan kesehatan merupakan salah satu
solusi dari beban ganda malnutrisi baik kekurangan maupun kelebihan
nutrisi.
Beragam hal tersebut dinilai merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang pesat yang terjadi di Indonesia.
Namun, untuk meningkatkan jasa pelayanan sosial dan meningkatkan
kapasitas pemerintah RI dalam meluncurkan SJSN, maka Bank Dunia
menyatakan dibutuhkan perbaikan lebih lanjut guna meningkatkan kinerja
birokrasi aparat pemerintahan Indonesia yang selaras dengan program
proses reformasi birokrasi yang telah dicanangkan.
Indonesia juga diimbau untuk mengalokasikan pengeluaran fiskal lebih
efisien dan lebih sesuai dalam mendukung sasaran pembangunan Indonesia.
Sementara itu, mantan Ketua Tim Penyusun Undang-undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), Sulastomo, menghimbau supaya Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dapat membayar jaminan pensiun tanpa bantuan dari
pemerintah, melalui gaji yang disisihkan untuk membayar SJSN-nya.
“PNS sebaiknya menyesuaikan diri untuk membayar SJSN sebagai jaminan
pensiunnya seperti yang dilakukan oleh para pekerja lainnya,” ujar
Sulastomo dalam forum mengenai jaminan sosial, di Jakarta, Selasa.
PNS yang dimaksud oleh Sulastomo termasuk TNI dan Polri, karena biaya
pensiun mereka dianggap sudah membebani APBN. Sulastomo beranggapan
bahwa bila biaya pensiun terus dibebankan pada negara, maka ke depannya
hal ini akan memperbesar biaya.
Ia menegaskan, setiap warga berhak untuk mendapatkan jaminan
kesehatan dan jaminan pensiun, namun undang-undang mengenai SJSN yang
sudah disahkan sejak 2004, rencananya baru akan dilaksanakan pada awal
Januari 2014.
“Keterlambatan satu tahun saja, jutaan orang bisa kehilangan momentum
untuk mendapat jaminan kesehatan dan pensiun, ini bisa menimbulkan
keresahan sosial,” katanya
Pembicara lainnya, pakar jaminan sosial dari Pusat Kajian Ekonomi dan
Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (PKEKKUI), Hasbullah
Thabrany, menyatakan bahwa pemerintah secara keseluruhan masih belum
serius dalam menangani jaminan sosial.
“Ini kan bagian dari kesejahteraan rakyat, tapi kenapa anggarannya asal jadi saja,” kata Hasbullah.
Hasbullah menyangkan bahwa angaran belanja yang disediakan untuk
jaminan sosial hanya mencapai satu persen dari GDB dan rasio pajak 12,9
persen.
Sementara dalam Undang-Undang No 24 tahun 2011 tentang BPJS
disebutkan bahwa modal awal bagi masing-masing BPJS adalah paling banyak
sebesar Rp2 triliun yang bersumber dari APBN.
“Ini menunjukkan tidak ada prioritas, padahal di negara lain ini menjadi prioritas,” jelas Hasbullah.
Prioritaskan proteksi sosial
Tidak hanya Bank Dunia, lembaga keuangan multilateral lainnya seperti
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengimbau agar pemerintahan negara di
kawasan Asia dan Pasifik termasuk Indonesia agar benar-benar
memperhatikan proteksi sosial bagi warga marjinal karena bisa berdampak
pada ekonomi.
Direktur Departemen Pembangunan Regional dan Berkelanjutan ADB, Bart
Edes, dalam rilis studi Indeks Proteksi Sosial menyebutkan terdapat
banyak kelompok rentan termasuk wanita dan pekerja sektor informal yang
tidak bisa mengakses jaminan sosial.
Tetapi kata dia mereka tidak dapat dikategorikan untuk mendapatkan bantuan sosial seperti bantuan tunai langsung.
Studi ADB yang menganalisisi program pemerintahan yang menyediakan
jaminan dan bantuan sosial di 35 negara di kawasan Asia-Pasifik
menemukan bahwa terdapat beragam pola yang variatif baik antarkelompok
beberapa negara maupun antarsubregional di kawasan tersebut.
Hal itu seperti Indonesia yang menginvestasikan kurang dari tiga
persen Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut dalam program
perlindungan sosial.
Negara-negara lainnya yang sama seperti Indonesia antara lain Armenia, Fiji, Filipina, India, Pakistan, dan Samoa.
Sedangkan sejumlah negara lainnya yang menginvestasikan program
proteksi sosial lebih dari delapan persen PDB adalah seperti Jepang,
Korea Selatan, dan Mongolia.
Studi tersebut menyatakan bahwa banyak negara berpendapatan menengah
yang tumbuh dengan cepat di Asia-Pasifik gagal mendukung sejumlah warga
yang miskin dan terpinggirkan.
“Program perlindungan sosial pemerintah harus diperluas untuk
mencakup mereka yang memiliki risiko untuk terjatuh ke dalam kemiskinan
bila terjadi peristiwa seperti goncangan ekonomi,” katanya.
Indonesia, dengan adanya penyesuaian harga BBM bersubsidi, telah
menelurkan langkah jangka pendek untuk melakukan proteksi sosial yaitu
melakukan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Hal tersebut ditegaskan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa
yang menyatakan pemerintah tidak hanya memikirkan penyesuaian harga BBM
bersubsidi, namun memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat
melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan
percepatan pembangunan.
“Selain BLSM, pemerintah menggerakkan Program Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),” kata Hatta dalam
keterangan pers di Jakarta, Selasa (25/6).
Hatta menyebutkan pemerintah memproyeksikan penyediaan 9,4 juta
lapangan kerja, terdiri dari 4.731.770 sektor industri dan 4.975.400
sektor infrastruktur.
Terkait pembagian BLSM 2013, Hatta menambahkan proses penyerahan
bantuan sementara itu berjalan tertib dibanding 2005 dan 2008, karena
masyarakat mendapatkan informasi lebih detail dengan waktu persiapan
yang memadai dan tetap sasaran.
Sementara itu, pengamat sosial Universitas Islam Negeri Mataram,
Kadri menyebutkan BLSM sebagai bukti keberpihakan pemerintah terhadap
rakyat miskin.
Kadri menilai BLSM sebagai katup program pemerintah bagi warga miskin
menikmati langsung bantuan guna melawan dampak kenaikan harga BBM
bersubsidi.
Kadri mengungkapkan anggaran BBM bersubsidi yang mencapai raturan
triliun rupiah tidak tepat sasaran, karena lebih banyak dinikmati
masyarakat kalangan menengah ke atas.
“Karena itu, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, kemudian
mengalosikan dana cukup besar untuk kompensasi dalam bentuk BLSM
merupakan langkah tepat,” ujar Kadri.
Kadri menyarankan sebagian dana kompensasi BBM lebih baik diusulkan
untuk membangun infrastruktur yang pelaksanaannya melalui sistem padat
karya.
Melalui BLSM yang jangka pendek, maka pemerintah diharapkan juga akan
melanjutkan dengan program SJSN yang lebih berefek jangka panjang,
terutama dalam menghadapi potensi keguncangan ekonomi di masa mendatang.
Sumber : fspmi.co.id
No comments:
Post a Comment