Monday, February 17, 2014

Freeport Indonesia Dinilai Melanggar HAM

Runtuhnya terowongan di areal tambang bawah tanah Big Gossan PT Freeport Indonesia pada 14 Mei 2013mengakibatkan 28 orang tewas dan 10 luka-luka. Untuk mengusut peristiwa itu, berbagai tim investigasi dibentuk oleh bermacam lembaga mulai dari pemerintahan, internal PT Freeport dan independen. Menurut komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, sampai saat ini hasil investigasi yang dilakukan bermacam tim tersebut tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas. Padahal, peristiwa itu merupakan kecelakaan tambang bawah tanah terbesar di Indonesia.

Pigai menyesalkan sikap “bungkam” berbagai pihak atas peristiwa itu. Ujungnya, hingga kini belum ada pihak yang dijatuhi sanksi akibat kelalaian yang mengakibatkan jatuh korban. Padahal, jika mengacu negara lain seperti Amerika Serikat, sebuah kecelakaan tambang yang disebabkan oleh kelalaian berbuah hukuman berat kepada pihak yang bertanggungjawab. Bahkan perusahaan yang bersangkutan terancam ditutup.
“Di dunia ini jarang sekali kecelakaan tambang yang menewaskan puluhan orang berakhir tanpa sanksi dan hukuman (kepada pihak yang bertanggungjawab,-red),” kata Pigai dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Jumat (14/2).
Terkait pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM atas peristiwa itu Pigai menjelaskan dasar hukumnya adalah pasal 89 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Mengacu ketentuan itu Komnas HAM melakukan sejumlah hal seperti mengadakan pertemuan dengan jajaran komisaris dan direksi PT Freeport Indonesia, Kapolda Papua, Kementerian ESDM dan melakukan pemeriksaan ke lokasi kejadian. Serta mempelajari berbagai dokumen terkait seperti hasil pemeriksaan kecelakaan oleh Kementerian ESDM, Kepolisian dan jawaban manajemen PT Freeport Indonesia atas peristiwa itu.
Hasilnya, Pigai melanjutkan, Komnas HAM memastikan peristiwa itu terjadi pagi hari saat jam kerja di areal tambang. Kemudian, dipastikan kejadian itu merupakan kecelakaan tambang dan bukan kejadian alam. Lalu, tidak ada pengawasan khusus dari tenaga ahli atas kondisi batuan di terowongan Big Gossan. Pengawas tambang dari Kementerian ESDM sangat minim untuk mengawasi wilayah operasi PT Freeport Indonesia sehingga kegiatan pertambangan tidak terkontrol maksimal.
“Dalam peristiwa runtuhnya terowongan Big Gossan terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PT Freeport Indonesia diduga kuat telah melakukan kelalaian dan atau kesalahan (kealpaan) yang mengakibatkan hilangnya nyawa 28 pekerja,” papar Pigai.
Kelalaian yang dilakukan PT Freeport Indonesia yaitu membiarkan keadaan atau pengawasan yang minim sehingga muncul kondisi-kondisi yang menyebabkan kecelakaan. Jika pengawasan itu dilakukan dengan benar, maka kecelakaan dapat diantisipasi. Misalnya, PT Freeport Indonesia tidak menyediakan alat untuk memantau ketidakstabilan batuan di terowongan. Ironisnya, Pigai menandaskan, manajemen PT Freeport tidak memberi jawaban yang memuaskan kenapa alat pendeteksi batuan itu tidak disediakan.
Padahal, untuk mendeteksi dini potensi runtuhnya terowongan itu dapat dilakukan lewat alat pendeteksi batuan. Apalagi, terowongan Big Gossan panjangnya mencapai 400 km. Pigai menyesalkan kenapa PT Freeport Indonesia tidak mampu menyediakan alat pendeteksi batuan itu. “Kenapa mereka bisa beli berbagai alat canggih untuk pertambangan tapi tidak punya alat deteksi batuan,” herannya.
Atas dasar itu, mengacu pasal 28 A jo pasal 28 I UUD 1945 dan pasal 4 jo pasal 9 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM serta pasal 6 ayat (1) UU No.12 Tahun 2005 tentang Sipol, Pigai menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM. Yaitu pelanggaran hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. “PT Freeport Indonesia telah terbukti melakukan pelanggaran HAM dalam peristiwa runtuhnya terowongan Big Gossan,” tegasnya.
Dari penyelidikan dan pemantauan itu Komnas HAM menerbikan sejumlah rekomendasi kepada pihak terkait. Pertama, Kementerian ESDM diminta memberikan sanksi kepada Kepala Teknik Tambang sesuai kewenangan yang dimiliki. Serta mengacu amanat Kepmen PE No.555.K/26/M.PE/1995. Melakukan evaluasi terhadap sistem K3 PT Freeport Indonesia di seluruh departemen. Memastikan PT Freeport Indonesia menetapkan tenaga ahli bidang batuan di seluruh departemen yang berkaitan dengan ruang bawah tanah. “Menambah personil pengawas tambang di wilayah kerja PT Freeport Indonesia,” tutur Pigai.
Kedua, kepada PT Freeport Indonesia, Komnas HAM merekomendasikan penjatuhan sansksi terhadap Kepala Teknik Tambang, Pengawas Operasional, Pengawas Teknik dan pihak bertanggungjawab sesuai Kepmen PE No.555.K/26/M.PE/1995. Kemudian, sejalan dengan pasal 362 ayat (2) Kepmen No.555 Tahun 1995 PT Freeport Indonesia harus memastikan setiap tempat atau ruangan yang digunakan untuk pekerja telah diperiksa dinding batuannya. Sehingga dapat mencegah ambruknya massa batuan. Serta memasang ground support yang paling optimal sesuai standar yang berlaku.
Selain itu Pigai menyebut Komnas HAM merekomendasikan PT Freeport Indonesia untuk menempatkan tenaga ahli bidang batuan di departemen yang berkaitan dengan ruang bawah tanah. Serta menyediakan alat deteksi batuan dan memperbaiki sistem K3 yang ada di perusahaan. Lalu, memenuhi hak-hak korban dan atau keluarganya. “Bertanggungjawab penuh terhadap korban dan keluarga korban yang meninggal maupun luka-luka,” tukasnya.
Ketiga, Komnas HAM merekomendasikan Kapolri untuk memerintahkan Polda Papua menindaklanjuti hasil temuan Komnas HAM. “Melanjutkan ke proses hukum guna meminta pertanggungjawaban pidana kepada manajemen PT Freeport Indonesia dalam rangka memberikan rasa keadilan serta tidak terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari,” kata Pigai.
Tak ketinggalan, Pigai menjelaskan peristiwa Big Gossan akan menjadi catatan penting Komnas HAM. Pada sidang HAM PBB yang berkaitan dengan Ekosob pada 2015, hasil pemantauan dan penyelidikan itu akan disampaikan dalam forum internasional tersebut.
Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, mendukung penjatuhan sanksi pidana terhadap manajemen PT Freeport Indonesia. Bahkan, Iqbal menilai layak jika pemilik dan manajemen PT Freeport McMoRan Copper & Gold Inc yang bermarkas di Amerika Serikat ikut dijatuhi sanksi. Menurutnya, tindakan tegas itu dilakukan oleh berbagai negara di dunia. Apalagi, kecelakaan kerja di PT Freeport Indonesia bukan hanya terjadi sekali, tapi berulang. Jika tindakan tegas itu tidak dilakukan serikat pekerja khawatir kecelakaan serupa terjadi lagi di kemudian hari.
Iqbal menegaskan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat penting untuk diterapkan di lokasi kerja. Apalagi di sektor pertambangan, minyak dan gas. Sayangnya, sikap pemerintah Indonesia tidak tegas dalam melakukan pengawasan ataupun menjatuhkan sanksi kepada pihak yang bertanggungjawab. Iqbal merasa pemerintah malah melindungi perusahaan tambang yang menyalahi aturan. “Harusnya PT Freeport itu dikenakan sanksi pidana karena menghilangkan nyawa orang (pekerja) akibat kelalaiannya,” pungkasnya.



Sumber : fspmi.or.id

No comments:

Post a Comment