Runtuhnya terowongan di areal tambang bawah tanah Big Gossan PT
Freeport Indonesia pada 14 Mei 2013mengakibatkan 28 orang tewas dan 10
luka-luka. Untuk mengusut peristiwa itu, berbagai tim investigasi
dibentuk oleh bermacam lembaga mulai dari pemerintahan, internal PT
Freeport dan independen. Menurut komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai,
sampai saat ini hasil investigasi yang dilakukan bermacam tim tersebut
tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas. Padahal, peristiwa itu
merupakan kecelakaan tambang bawah tanah terbesar di Indonesia.
Pigai menyesalkan sikap “bungkam” berbagai pihak atas peristiwa itu.
Ujungnya, hingga kini belum ada pihak yang dijatuhi sanksi akibat
kelalaian yang mengakibatkan jatuh korban. Padahal, jika mengacu negara
lain seperti Amerika Serikat, sebuah kecelakaan tambang yang disebabkan
oleh kelalaian berbuah hukuman berat kepada pihak yang bertanggungjawab.
Bahkan perusahaan yang bersangkutan terancam ditutup.
“Di dunia ini jarang sekali kecelakaan tambang yang menewaskan
puluhan orang berakhir tanpa sanksi dan hukuman (kepada pihak yang
bertanggungjawab,-red),” kata Pigai dalam jumpa pers di kantor Komnas
HAM Jakarta, Jumat (14/2).
Terkait pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM atas
peristiwa itu Pigai menjelaskan dasar hukumnya adalah pasal 89 ayat (3)
UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Mengacu ketentuan itu Komnas HAM
melakukan sejumlah hal seperti mengadakan pertemuan dengan jajaran
komisaris dan direksi PT Freeport Indonesia, Kapolda Papua, Kementerian
ESDM dan melakukan pemeriksaan ke lokasi kejadian. Serta mempelajari
berbagai dokumen terkait seperti hasil pemeriksaan kecelakaan oleh
Kementerian ESDM, Kepolisian dan jawaban manajemen PT Freeport Indonesia
atas peristiwa itu.
Hasilnya, Pigai melanjutkan, Komnas HAM memastikan peristiwa itu
terjadi pagi hari saat jam kerja di areal tambang. Kemudian, dipastikan
kejadian itu merupakan kecelakaan tambang dan bukan kejadian alam. Lalu,
tidak ada pengawasan khusus dari tenaga ahli atas kondisi batuan di
terowongan Big Gossan. Pengawas tambang dari Kementerian ESDM sangat
minim untuk mengawasi wilayah operasi PT Freeport Indonesia sehingga
kegiatan pertambangan tidak terkontrol maksimal.
“Dalam peristiwa runtuhnya terowongan Big Gossan terdapat bukti
permulaan yang cukup bahwa PT Freeport Indonesia diduga kuat telah
melakukan kelalaian dan atau kesalahan (kealpaan) yang mengakibatkan
hilangnya nyawa 28 pekerja,” papar Pigai.
Kelalaian yang dilakukan PT Freeport Indonesia yaitu membiarkan
keadaan atau pengawasan yang minim sehingga muncul kondisi-kondisi yang
menyebabkan kecelakaan. Jika pengawasan itu dilakukan dengan benar, maka
kecelakaan dapat diantisipasi. Misalnya, PT Freeport Indonesia tidak
menyediakan alat untuk memantau ketidakstabilan batuan di terowongan.
Ironisnya, Pigai menandaskan, manajemen PT Freeport tidak memberi
jawaban yang memuaskan kenapa alat pendeteksi batuan itu tidak
disediakan.
Padahal, untuk mendeteksi dini potensi runtuhnya terowongan itu dapat
dilakukan lewat alat pendeteksi batuan. Apalagi, terowongan Big Gossan
panjangnya mencapai 400 km. Pigai menyesalkan kenapa PT Freeport
Indonesia tidak mampu menyediakan alat pendeteksi batuan itu. “Kenapa
mereka bisa beli berbagai alat canggih untuk pertambangan tapi tidak
punya alat deteksi batuan,” herannya.
Atas dasar itu, mengacu pasal 28 A jo pasal 28 I UUD 1945 dan pasal 4
jo pasal 9 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM serta pasal 6 ayat
(1) UU No.12 Tahun 2005 tentang Sipol, Pigai menyimpulkan telah terjadi
pelanggaran HAM. Yaitu pelanggaran hak untuk hidup yang merupakan hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. “PT Freeport Indonesia
telah terbukti melakukan pelanggaran HAM dalam peristiwa runtuhnya
terowongan Big Gossan,” tegasnya.
Dari penyelidikan dan pemantauan itu Komnas HAM menerbikan sejumlah
rekomendasi kepada pihak terkait. Pertama, Kementerian ESDM diminta
memberikan sanksi kepada Kepala Teknik Tambang sesuai kewenangan yang
dimiliki. Serta mengacu amanat Kepmen PE No.555.K/26/M.PE/1995.
Melakukan evaluasi terhadap sistem K3 PT Freeport Indonesia di seluruh
departemen. Memastikan PT Freeport Indonesia menetapkan tenaga ahli
bidang batuan di seluruh departemen yang berkaitan dengan ruang bawah
tanah. “Menambah personil pengawas tambang di wilayah kerja PT Freeport
Indonesia,” tutur Pigai.
Kedua, kepada PT Freeport Indonesia, Komnas HAM merekomendasikan
penjatuhan sansksi terhadap Kepala Teknik Tambang, Pengawas Operasional,
Pengawas Teknik dan pihak bertanggungjawab sesuai Kepmen PE
No.555.K/26/M.PE/1995. Kemudian, sejalan dengan pasal 362 ayat (2)
Kepmen No.555 Tahun 1995 PT Freeport Indonesia harus memastikan setiap
tempat atau ruangan yang digunakan untuk pekerja telah diperiksa dinding
batuannya. Sehingga dapat mencegah ambruknya massa batuan. Serta
memasang ground support yang paling optimal sesuai standar yang berlaku.
Selain itu Pigai menyebut Komnas HAM merekomendasikan PT Freeport
Indonesia untuk menempatkan tenaga ahli bidang batuan di departemen yang
berkaitan dengan ruang bawah tanah. Serta menyediakan alat deteksi
batuan dan memperbaiki sistem K3 yang ada di perusahaan. Lalu, memenuhi
hak-hak korban dan atau keluarganya. “Bertanggungjawab penuh terhadap
korban dan keluarga korban yang meninggal maupun luka-luka,” tukasnya.
Ketiga, Komnas HAM merekomendasikan Kapolri untuk memerintahkan Polda
Papua menindaklanjuti hasil temuan Komnas HAM. “Melanjutkan ke proses
hukum guna meminta pertanggungjawaban pidana kepada manajemen PT
Freeport Indonesia dalam rangka memberikan rasa keadilan serta tidak
terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari,” kata Pigai.
Tak ketinggalan, Pigai menjelaskan peristiwa Big Gossan akan menjadi
catatan penting Komnas HAM. Pada sidang HAM PBB yang berkaitan dengan
Ekosob pada 2015, hasil pemantauan dan penyelidikan itu akan disampaikan
dalam forum internasional tersebut.
Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, mendukung penjatuhan sanksi
pidana terhadap manajemen PT Freeport Indonesia. Bahkan, Iqbal menilai
layak jika pemilik dan manajemen PT Freeport McMoRan Copper & Gold
Inc yang bermarkas di Amerika Serikat ikut dijatuhi sanksi. Menurutnya,
tindakan tegas itu dilakukan oleh berbagai negara di dunia. Apalagi,
kecelakaan kerja di PT Freeport Indonesia bukan hanya terjadi sekali,
tapi berulang. Jika tindakan tegas itu tidak dilakukan serikat pekerja
khawatir kecelakaan serupa terjadi lagi di kemudian hari.
Iqbal menegaskan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat penting
untuk diterapkan di lokasi kerja. Apalagi di sektor pertambangan,
minyak dan gas. Sayangnya, sikap pemerintah Indonesia tidak tegas dalam
melakukan pengawasan ataupun menjatuhkan sanksi kepada pihak yang
bertanggungjawab. Iqbal merasa pemerintah malah melindungi perusahaan
tambang yang menyalahi aturan. “Harusnya PT Freeport itu dikenakan
sanksi pidana karena menghilangkan nyawa orang (pekerja) akibat
kelalaiannya,” pungkasnya.
Sumber : fspmi.or.id
No comments:
Post a Comment